Tour
de Medan and Pekanbaru
Lama
sudah menginginkannya, keinginan melihat-lihat perkembangan daerah lain di luar
propinsi, akhirnya kesempatan berkeliling dari Sumatera Barat ke Medan dan pulangnya lewat Pekanbaru itu
terwujud juga. Itu-lah perjalanan studi komperatif yang penulis lakukan dengan
keluarga besar SLBN Lima Kaum, Batusangkar yang berjumlah 31 orang pada tanggal
19 sampai dengan tanggal 23 Desember
2015 yang lalu dengan sebuah bus pariwisata dengan fasilitas AC dan toilet
didalamnya. Sementara penulis tidak tahu apakah ada bus pariwisata tanpa
fasilitas AC dan toilet didalamnya.
Persiapan
pelaksanaan kegiatan ini telah dimulai sejak awal semester ganjil 2015 – 2016
yang lalu. Waktu itu, dalam sebuah pertemuan antar majelis guru SLBN Lima Kaum,
Batusangkar (maaf lupa mencatat tanggalnya) terbesit rencana mengadakan studi
komperatif. Disebut studi komperatif karena kegiatan ini ditujukan untuk
mengadakan studi banding ke SLBN Pembina di Medan.
Sangat
disayangkan waktu ide ini dicetuskan kegiatan studi komperatif ini dikhususkan hanya
untuk guru SLBN Lima Kaum, Batusangkar saja. Dikarenakan penulis bukan guru
tetap di sekolah tersebut tapi adalah guru yang menambah jam pelajaran disana,
setelah rapat itu selesai, penulis mengusulkan diri untuk diizinkan ikut dalam
kegiatan studi komperatif itu kepada Bapak Kepala SLBN Lima Kaum, Batusangkar
itu yang hari itu sampai hari ini dijabat Bpk. Iriyandi, S, Pd; usulan penulis
ditanggapi dengan pernyataan :”Kalau keluarga bisa ikut, akan lebih baik.”
Alangkah senangnya hati penulis mendengar jawaban tersebut.
Waktu
terus berlalu, menjelang mendekati hari H, oleh Bpk. Eri, Waka Kesiswaan di
sekolah itu menegaskan waktu pendaftaran dan pembayaran terakhir bagi yang akan
ikut studi komperatif ini ditetapkan pada minggu ke dua Desember 2015, tepatnya
terakhir tanggal 9 Desember 2015 sudah menyerahkan ongkos tanda keikutsertaan
kepada Ibu ........, selaku koordinator keuangan kegiatan studi komperatif ini.
Mendengar pemberitahuan itu penulis sempat berfikir bagaimana cara menyampaikan
persoalan izin kepada kepala sekolah induk penulis sendiri yaitu di SMPN 4
Rambatan yang sampai hari ini dijabat oleh Bapak Ade Nasrullah, S. Pd, dan dari
teman-teman sesama guru di sekolah induk memberi nasehat untuk menyampaikan saja
secara langsung kepada Bapak Kepala Sekolah.
Dari
pertemuan dengan kepala sekolah induk untuk menyampaikan niat ingin ikut studi
komperatif ini bersama dengan keluarga besar SLBN Lima Kaum, Batusangkar
ditanggapi dengan menyarankan penulis untuk menulis surat izin mengikuti
kegiatan ini.
Mengingat
hari keberangkatan kami tanggal 19 Desember 2015 adalah hari dimana diadakannya
pula rapat hasil ujian semester ganjil 2015 – 2016 di sekolah induk, penulis
sikapi dengan mengupayakan jangan sampai nilai rapor yang penulis berikan
kepada wali kelas yang penulis ajar bermasalah pada akhirnya.
Mendekati
jam 08.00 W.I.B, pada tanggal 19 Desember 2015 itu, penulis pun menaiki sepeda
motor dengan diboncengi istri menuju ke SLBN Lima Kaum, Batusangkar, dan
menyempatkan diri membeli sebotol aqua isi 1500 ml di sebuah kedai yang tidak
begitu jauh dari tempat tinggal penulis dan istri, dan kami pun sampai di tujuan
jam 08.15 W.I.B, yang di depan sekolah itu penulis lihat telah berdiri dan
menanti sebuah bus pariwisata yang bagus
dengan promosi fasilitas wi-fi(sekedar iklan saja dan bahkan tidak terlihat
wi-fi nya itu sendiri di dalam mobil itu), tempat pengecasan HP, AC dan toilet
didalamnya.
Dengan
memarkirkan motor penulis di tempat yang aman di sekolah itu terlebih dahulu,
selanjutnya penulis bergegas kembali membantu istri untuk menumpuk tas-tas yang
berisi pakaian dan perlengkapan bepergian yang telah terlebih dahulu
dikumpulkan oleh istri di dekat bagasi mobil, dan setelah memastikan tas mana
yang harus ada dibadan dan boleh disimpan di bagasi bus, penulis kemudian
memperkenalkan istri kepada keluarga besar SLBN Lima Kaum, Batusangkar yang
telah duduk dengan rapi dan manis menanti perintah naik bus yang akan membawa
kami berkeliling ke luar propinsi tersebut.
Mumpung
belum ada pengumuman untuk menaiki bus itu, maka penulis memberanikan diri
menanyakan kepada kondektur bus itu di bagian mana pintu darurat (emergency
exit) di bus itu kalau terjadi hal-hal yang tak diinginkan dan mengharuskan
penumpang keluar melalui pintu darurat itu. Dengan sabarnya sang konduktor
menjelaskan kepada penulis bahwa pintu darurat itu dibuka dengan menarik alat
tuas yang ada di sebelah kanan dekat pintu darurat itu, dan alat tuas itu dilindungi dengan kaca
pelindung. Untuk memecahkan kaca pelindung alat tuas itu digunakan alat pemecah
kaca yang terpasang utuh disebelah kiri pintu darurat . Dari pertemuan singkat
dengan kondektur itu oleh sang konduktor kepada penulis disampaikan “Pak, kalau
boleh saya berterus terang, dari sebanyak ini penumpang yang pernah naik bus
ini, hanya Bapak yang menanyakan kepada saya tentang pintu darurat ini, yang
lainnya saya tidak tahu, Pak, apakah mereka sudah tahu atau tidak mau tahu,
Bapak peduli sekali dengan keselamatan orang banyak”. Dengan sedikit rasa bangga
disanjung demikian, penulis pun berkilah “Berharap saja-lah mereka sudah tahu
dengan pintu darurat ini, dan jika pun belum, kita do’a kan agar mereka cepat
mencari tahu. “Sekali lagi terima kasih, Pak” demikian ungkapan konduktor bus
itu mengakhiri pembicaraan kami dengan senyumannya yang manis. Terakhir penulis
ketahui nama konduktor itu adalah Ajo.
Jam 09.30 W.I.B, bus pariwisata yang kami
tumpangi meninggalkan pelataran SLBN Lima Kaum menuju ke arah Simpang Pincuran
Tujuh dan menuju ke Simpang Asrama Polisi di Parak Juar dan berbelok ke kiri di
Simpang Piladang menuju ke Simpang Baso, di Simpang Baso berbelok ke kiri
menuju ke Bukittinggi.
Di
Bukittinggi sesampai di Simpang Empat Manggis berbelok ke kanan menuju Tilatang
Kamang, Gadut dan Padang Hijau. Satu yang menjadi catatan tersendiri bagi
penulis saat melintasi daerah Padang Hijau ini adalah belokannya. Bagi pembaca
yang sudah pernah ke Bengkulu melintasi Kepahiang dari arah Curup atau pernah
ke Padang dari Solok melintasi turunan dan tikungan Sitinjau Laut, kesemuanya
itu belum seberapa dibandingkan melintasi tikungan dan turunan di Padang Hijau
ini. Tikungan, turunan dan tanjakannya dipastikan sangat melelahkan bagi sopir
untuk mengemudikan busnya, karena jalanan melalui daerah ini tikungannya lebih
patah dibandingkan dengan perlintasan daerah Kepahiang, Sitinjau Laut bahkan
dengan Kelok 44 sendiri saat pembaca memasuki kawasan Danau Maninjau dari arah Bukittinggi.
Setelah
melintasi daerah Padang Hijau penulis melihat plang papan SMPN 7 Palupuh, kawasan
hutan lindung, Polsek dan SMA Angge Palimbanan, melalui hutan lagi, SMPN 3
Bonjol, di Bonjol ini penulis dan rombongan melihat sebuah truk menabrak plang
jembatan dan jatuh ke dalam sebuah kali dengan kedalaman lebih kurang 7 (tujuh)
meter. Penulis melihat plang sekolah M.A.S Bonjol dan Museum Tuanku Imam
Bonjol. Bus rombongan ini berhenti untuk melaksanakan sholat Zuhur berjama’ah
dan menjamak taqdim Sholat Ashar serta sekalian mengasharnya dan menikmati
makan siang di sebuah rumah makan di Lurah Barangin jam 13.19 W.I.B.
Sekedar
berbagi dengan pembaca, dengan ketiadaan aktifitas diatas bus karena menjadi
penumpang maka ada bagusnya pembaca membawa serta di tempat duduk kue-kue
kering dan sebotol air untuk mengganjal perut agar tidak terlalu keroncongan
menanti waktu bus berhenti untuk makan. Strategi ini mampu mengganjal perut
dari rasa keroncongan yang melilit.
Setelah
beberapa menit berlalu, bus rombongan berangkat dari rumah makan di Lurah
Barangin tadi, dan melintasi batas kota Lubuk Sikaping, dan melihat plang SDN
23 Talago, SDN 14 Tanjung Baringin, melintasi kawasan Rimbo Panti, daerah Rao,
Padang Aro, Natal, Kota Nopan.
Di
kota Nopan ini rombongan melihat lupak dan pematang sawah dibuat sangat kecil
dan berbentuk setengah lingkaran tanpa memberi akses untuk diinjak. Apa yang
ada di kepala penulis adalah mungkin untuk berpindah dari satu sawah ke sawah
yang lain, petani penggarap di sawah itu untuk berpindah dari satu lupak sawah
ke lupak sawah lain adalah dengan menginjak bagian dalam sawah dan tidak
menginjak pematang lagi, karena pasti akan roboh jika diinjak setelah ditambak
(bhs. Min. Pen. Yang berarti pematang sawah yang ditumpuk tanah basah.)
Dari
kota Nopan, bus rombongan memasuki kawasan Polres Madina.
Dari
kota Nopan ini penulis melihat di pintu masuk pemakaman warga dibangun sebuah
gerbang yang bertuliskan huruf-huruf Arab yang karena kencangnya laju bus tidak
bisa dibaca. Mungkin maksud dibuat gerbang itu adalah untuk melambangkan sebuah
penghormatan terakhir kepada para penghuni kubur di pemakaman tersebut.
Entahlah, ini baru persepsi penulis saja.
Dari
kota Nopan, bus rombongan memasuki pasar Simangambat (untuk membaca nama pasar
ini penulis mulai terbata-bata membacanya, mungkin karena bahasanya yang tidak
umum di lidah penulis). Sesampai bus rombongan di Mesjid Hulu Raja, yang
penulis ingat berposisi di sebelah kanan menuju ke kota Padang Sidempuan rombongan berhenti untuk
melaksanakan sholat Maghrib dan menjamak tagdim sholat Isya serta sekalian
mengqasharnya.
Pada
hari Sabtu pagi ini dari Padang Sidempuan kami terus ke kota Tarutung. Kami
sampai dan berhenti di pom bensin Prapat jam 05.10 W.I.B, untuk berudhuk di
tempat beruduk pom bensin itu dan karena tidak ada tempat sholat di pom bensin
itu kami pun melaksanakan sholat Subuh di pelataran pom bensin itu dengan
membentangkan tikar plastik (terakhir penulis ketahui bahwa tikar plastik ini
dibawa oleh Ibu Ram (Waka Kurikulum SLBN Lima Kaum, Batusangkar), dan mumpung pom
bensin itu waktu itu lagi sepi.
Setelah
semua anggota rombongan selesai sholat subuh, bus yang kami tumpangi menuju ke
kota Prapat, tempat dimana berlokasinya Danau Toba. Udara dingin yang
dihembuskan dari arah Danau Toba menyambut anggota rombongan yang sejak naik
bus telah dibuat dingin oleh AC bus yang kami tumpangi. Sehingga hampir tidak
ada anggota rombongan yang tidak memamfaatkan toilet yang ada di bus tersebut
untuk buang air kecil.
Seperti
anggota rombongan lainnya, kegiatan pertama kami adalah ber-selfie ria atau
berfoto bersama. Di dermaga nagori (bhs. Batak yang berarti desa) Prapat itu
kami turun dari bus dan melihat hijaunya danau Toba. Bagi pembaca yang pernah
ke desa Sukarami, di Kabupaten Solok, Sumatera Barat tentunya ingat dengan
dinginnya daerah itu, dan dinginnya desa Sukarami mungkin sama dengan dinginnya
nagori Prapat, pinggir danau Toba ini. Kami disambut oleh inang-inang(ibu-ibu
bhs. Batak) yang menjual kacang goreng dan para pedagang laki-laki yang
berjubel mendatangi kami yang baru turun bus dengan dagangan kaca matanya.
Penulis dan istri
merasa perlu masing-masingnya memiliki satu dan kami pun membeli satu, dan
berfoto ria dengan latar belakang kapal pengangkut penumpang yang sedang
ditambatkan di dermaga nagori Prapat.
Pagi
yang dingin ini tetap menjadi hari yang sibuk bagi kepala SLBN Lima Kaum,
Batusangkar ini untuk membuat semua anggota rombongan mendapatkan pengalaman
wisata yang menarik. Betapa tidak, saat anggota rombongan sibuk dengan kegiatan
selfie atau foto bersama-nya, Bpk. Andi, demikian kami menyebut nama singkat
beliau, sibuk bernegosiasi dengan pemilik kapal yang menawarkan kami jasa pengangkutan melintasi Danau Toba menuju
ke Pulau Samosir, yang entah berapa ongkos yang disepakati.
Akhirnya
pada jam 09.00 W.I.B kami disuruh menaiki kapal penyeberangan menuju ke Pulau
Samosir. Sebelum menuju ke pulau Samosir, kepada kami dari atas kapal
penyeberangan dibawa berkeliling menuju ke sebuah teluk di Danau Toba daerah
wisata dengan nama Batu Gantung.
Objek
wisata Batu Gantung itu sendiri adalah batu stalagnit yang tergantung di sebuah
dinding batu alam yang menjorok ke arah dalam danau Toba yang diketahui
dalamnya sekitar 450 meter dan luasnya sekitar 1700 meter persegi, demikian
yang penulis baca dari keterangan yang ada di google.
Dari
Batu Gantung kami meneruskan pelayaran ke Pulau Samosir. Pelabuhan pendaratan
kapal kami di Pulau Samosir bernama Tomok. tempat dimana kita disambut dengan
membayar bea masuk Rp. 2.000/orang.
Di
pintu masuk desa Tomok ini kami disambut oleh ibu-ibu penjual ikan Nila dan
Gurame yang sudah dikeringkan. Mungkin saat kami turun dari kapal sesampai di
desa Tomok harus turun satu persatu disini lah penulis terpisah dari istri dan disusul
kemudian dengan jinjingan ikan kering tadi di tangannya.
Satu
hal yang mungkin berguna bagi kita semua disaat pergi bersama rombongan adalah
perlu buat kita mencari tahu bahkan kalau memungkinkan jalan bersama dengan
anggota rombongan yang sudah pernah pergi ke tempat yang sama sebelumnya, siapa
tahu dia sudah tahu lebih banyak tentang satu hal.
Hal
ini mengemuka ketika melihat banyak dari kaum ibu dari anggota rombongan kami telah
membeli ikan kering tadi seharga Rp.20. 000/bungkus sewaktu tiba di Tomok pagi ini,
padahal setelah agak siang harganya hanya Rp. 10.000/bungkus. Begitu juga saat
memasuki pasar yang menjual aneka kerajinan tangan dan oleh-oleh. Melihat
bagusnya pajangan dagangan di pintu masuk desa Tomok itu siapapun pasti tergiur
untuk langsung membeli, padahal toko yang menjual dagangan yang sama bukan
hanya itu, banyak lagi toko lainnya ke arah belakang dengan harga yang lebih
murah dengan kualitas barang yang sama. Artinya sewaktu melihat sesuatu yang
ingin dibeli, jangan langsung dibeli, lihatlah dulu tempat lain untuk mencari
harga yang lebih murah.
Pengalaman
membeli lebih mahal ini juga dialami oleh anggota rombongan yang membeli ukiran
garpu dan sendok di toko dekat dermaga, sedangkan anggota rombongan lainnya
yang membeli di toko lainnya bisa membeli dengan harga lebih murah dengan mutu
barang yang sama.
Ke
arah belakang dari pasar kerajinan tangan dan oleh-oleh tadi penulis dan istri
melihat patung Si Gale-Gale yang merupakan patung yang dibuat mirip wajah anak
raja yang mati dalam peperangan melawan Belanda yang merupakan penghibur bagi
sang raja atas kematian anaknya dan menyempatkan berfoto ria didekat patung
Sigale-gale dengan latar belakang rumah adat Batak Karo.
Setelah
dari patung si Gale-gale kami menuju ke makam raja-raja Batak yang ditutupi
dengan batu-batu besar. Konon pada waktu-waktu tertentu batu-batu tersebut
berubah warna menjadi merah dan hijau, dan yang penulis dan istri lihat batu
tersebut tetap berwarna seperti warna batu biasa.
Setelah
puas berbelanja ini dan itu di lingkungan luar patung si Gale-Gale dan makam
batu raja-raja Batak Karo itu, penulis dan istri mencari rumah makan, tidak
begitu lama akhirnya kamipun menemukan satu diantaranya dan yang menjadi
penjualnya adalah orang dari Maninjau.
Dengan
kesan memuaskan dari rasa makanan dan harga makanan di rumah makan itu dan
tidak ada lagi yang ingin dibeli, maka penulis dan istri pun meneruskan
perjalanan ke arah kanan dari rumah makan tadi, dan yang kami lihat adalah
deretan toko-toko yang menjual aneka kerajinan tangan dan oleh-oleh yang telah
kami lihat sejak tadi. Kami pun memutuskan untuk berbalik arah menuju ke
dermaga tempat kapal kami semula berlabuh.
Menjelang
sampai di pelabuhan itu, pandangan penulis tertuju pada sebuah toko yang
menjual aneka ukuran seruling khas Batak Karo. Kebetulan dari dalam toko sedang
diputarkan instrumentalia lagu Batak dan didepan toko seorang pria paruh baya
dengan trampilnya memainkan seruling khas Batak Karo. Pertemuan singkat dengan
pria paruh baya yang sedang asyik memainkan alat tiup khas Batak Karo itu di
depan toko itu, cukup memberi kepuasan tersendiri bagi penulis dan istri akan
bunyi khas alat tiup tersebut. Namun disayangkan, kenangan singgah dan
berkenalan dengan pria paruh baya yang sedang meniup seruling khas Batak Karo
itu tidak terfikir untuk diabadikan dengan berfoto bersama dan menyesali tidak membeli
satupun seruling itu.
Menjelang
sampai di pelabuhan, istri tercinta membeli sebuah baju dingin lengan panjang
yang bermerek Lake Toba. Setelah membayar sesuai harga yang disepakati, kamipun
melangkah menuju ruang tunggu di pelabuhan itu, yang ternyata telah banyak dari
anggota rombongan kami menanti disana.
Untuk
mengisi waktu dan mengabadikan kenangan pernah ke Tomok, pelabuhan memasuki
pulau Samosir penulis dan istri menyempatkan diri untuk berfoto ria di
dermaganya yang dilatar belakangi oleh banyak inang-inang yang sedang menjual
ikan kering, kacang tanah dan seorang pedagang kaca mata.
Pada
jam 12.00 W.I.B kami pun meninggalkan nagori Tomok menuju kembali ke desa
Prapat tempat dimana bus yang kami tumpangi menanti anggota rombongan untuk
melanjutkan perjalanan menuju kota Medan.
Setelah
sampai di Prapat, penulis, Pak Eri dan Pak Ar (anggota rombongan dari kalangan orang
tua murid) setengah berlari menuju ke mesjid terdekat di Prapat lebih kurang
berjarak 300 meter dari tempat bus kami parkir. Menjelang sampai di mesjid,
kami melintasi sebuah pertigaan yang merupakan gerbang kantor Kapolda Prapat
yang mendirikan sebuah baliho dengan foto Kapolda nya yang berukuran 10 x 5
meter. Satu hal yang menarik hati bagi kami pada tulisan baliho itu adalah”
Jatuh ke aspal tanpa helm tidak seenak jatuh cinta, jangan terjadi kecelakaan
disini, rumah sakit jauh.” Tulisan di baliho yang sebenarnya disalin dari apa
yang ada di internet.
Setelah
selesai sholat kami berhenti sejenak di luar mesjid. Tidak lama diantaranya, kami didatangi oleh sekelompok pedagang kaca
mata yang ternyata sebahagian dari mereka juga dari Sumatera Barat dan
sekelompok anggota rombongan kami dari kelompok ibu-ibu yang memamfaatkan waktu
dengan membawa peralatan mandi dan mereka pun bermandi-mandi ria di mesjid itu.
Setelah
sekian waktu berlalu dan dengan tidak menunggu anggota rombongan perempuan yang
sedang mandi, anggota rombongan laki-laki melangkah kembali menuju ke tempat
bus kami parkir. Ternyata di sebuah kedai di pinggir danau Toba itu, Pak Em, Adil(putra
Pak Em) dan Pak As (anggota rombongan lainnya) telah hampir selesai menikmati
kopi hangat mereka.
Bus
kami meninggalkan danau Toba / nagori Prapat jam 13.30 W.I.B, kami sampai di
Pematang Siantar, terus ke Tebing Tinggi, dan berhenti sejenak di pom bensin
Sergai. Sambil berhenti mengisi minyak bus, sebahagian anggota rombongan
memamfaatkan waktu dengan menikmati pical (makanan terbuat dari mie kuning,
kentang dilumari dengan kuah kacang, dan perasan jeruk nipis dan asam jawa) dan
rujak (potongan jambu biji, nenas, semangka atau melon yang dilumari dengan kuah kacang dan perasan jeruk
nipis dan asam jawa).
Setelah
selesai menikmati pical dan rujak tadi, penulis berkeinginan merokok dan karena
di lingkungan pom bensin penulis sedikit kesulitan mencari tempat untuk merokok.
Melihat penulis yang gelisah sambil memegang kotak rokok, salah seorang
pedagang asongan roti ikan menyapa penulis dengan menanyakan “kepingin merokok,
ya, Pak?”. Langsung saja penulis jawab “Benar, Pak, tapi disini pom bensin, Pak,
kita dilarang merokok disini.!” Si Bapak tadi langsung menjawab”Bukankah saya
merokok, nanti kalau kena tegur, saya lah yang akan ditegur duluan”mendengar
penjelasannya demikian, penulis pun memberanikan diri mengambil rokok dan
menyalakannya. Sungguh nikmat rokok itu dihisap walau dari pelataran pom bensin
itu beterbangan debu tembok pelataran pom bensin yang mengelupas yang dihembus oleh knalpot trailer
dan bus-bus yang mengisi minyak di pom bensin itu.
Sambil
terus menikmati isapan demi isapan rokok yang dinyalakan tadi, penulis sempat
berkenalan dengan pedagang asongan tadi, yang dari pengakuannya dia adalah
bekas seorang sopir truk dan pernah menjadi sopir bus. Karena miss management
hidup katanya, akhirnya dia memilih menjadi pedagang asongan, walau dari dalam
sakunya dengan bangga dia memperlihatkan SIM B 2 nya walau tidak penulis minta
diperlihatkan sebagai tanda bukti. Sewaktu kami anggota rombongan mencoba
mempengaruhi pendiriannya untuk mempertimbangkan kembali meneruskan usahanya
untuk berjualan asongan roti ikan untuk beralih profesi kembali menjadi sopir,
dengan keyakinan yang dimilikinya si Bapak pedagang roti ikan itu tetap
bersikukuh dengan pendiriannya untuk berusaha berjualan roti ikan. Sebagai
penutup pembicaraan kami karena bus yang kami tumpangi sudah siap-siap
meneruskan perjalanan, penulis sempat mengatakan kepada si Bapak pedagang roti
ikan itu “Keteguhan hati Bapak dengan pendiriannya, itu yang sangat saya
banggakan.” Dengan senyum yang tersungging di bibir pertanda dia senang dengan
perbincangan itu, si Bapak pedagang roti ikan berucap” Terima kasih Pak,
selamat jalan, semoga selamat sampai di tujuan.” Dan penulis pun membalas
“Terima kasih, Pak, lanjutkan perjuangan!” dan memberikan lambaian selamat
tinggal kepadanya yang entah bila akan bertemu lagi.
Dari
Sergai (entah kabupaten atau kecamatan) bus kami memasuki kecamatan Parbaungan
dan memasuki batas kota Medan untuk berhenti sejenak melaksanakan sholat
Maghrib. Setelah beberapa menit berlalu bus rombongan sampai di SLBN Pembina di
Jalan Karya (penduduk setempat menyebutnya Karya Ujung) jam 20.15 W.I.B. Karena
bus yang kami tumpangi tidak bisa masuk ke jalan itu dikarenakan bentangan
kawat listrik antar rumah yang sangat rendah akhirnya diputuskan untuk berjalan
kaki saja ke lokasi SLBN Pembina yang berjarak lebih kurang 300 meter dari
tempat bus yang kami tumpangi berhenti.
Menjelang
sampai di SLBN Pembina Medan itu, anggota rombongan disambut oleh suara musik
seperti orgen tunggal yang digelar waktu ada pesta pernikahan di Kabupaten
Tanah Datar yang digelar di sebuah warung orang Batak yang tengah mabuk-mabuk
disana. Belakangan diketahui, kepada orang-orang yang tengah minum di warung
itu telah diingatkan oleh Kepala Security SLBN Pembina untuk tidak mengganggu
tamu SLBN Pembina dari Padang. Melalui tulisan ini penulis dan anggota
rombongan studi komperatif SLBN Lima Kaum, Batusangkar mengucapkan terima kasih
kepada Bpk. Kepala Security dan aparat SLBN Pembina Medan, atas perlindungan
keamanan yang telah diberikan kepada kami, sekali lagi terima kasih, semoga
amal perbuatan Bapak-Bapak semua dibalasi dengan pahala berlipat ganda dan
dimurahkan rezeki oleh Allah S.W.T.
Tepatnya
anggota rombongan sampai di SLBN Pembina Medan jam 20.15 (hari Minggu malam).
Penulis sendiri mendapatkan kamar nomor 208 dengan empat (4) buah tempat tidur
dan sendirian, sementara anggota rombongan laki-laki lain tidur di kamar nomor
206 dengan fasilitas tiga (3) tempat tidur dan ada dua orang anggota rombongan
dewasa dan satu anak-anak disana(Pak Ujang, Windi, anak buk Vina), dan di kamar
207 dengan tiga buah tempat tidur dan dihuni
oleh tiga anggota rombongan dewasa dan satu anak kecil (laki-laki) disana(Pak
Ar, Pak Em dan anaknya Adil, serta Pak As).
Penulis
sendiri setelah meletakkan semua peralatan bepergian yang dibawa ke kamar, menyegerakan diri untuk mandi, setelah
dua hari badan ini tidak merasakan sejuknya air, benar-benar penulis gunakan
kesempatan itu untuk menghilangkan semua debu yang melekat di badan dan muka
dengan menggunakan pencuci muka berkali-kali dilanjutkan dengan menyabuni
sekujur badan sampai terasa tidak ada lagi rasa kesat di kulit. Tidak disadari
banyaknya air yang telah penulis gunakan hampir setengah bak mandi.
Dengan
mengisi kembali bak mandi melalui pemutaran kran air, penulis pun meninggalkan
kamar mandi dan bersegera mengambil pakaian pengganti dan peralatan sholat yang
ternyata tidak ada penulis bawa dan terpaksa meminjam kepada tetangga lain
kamar.
Sesampai
di kamar tetangga yang dihuni oleh Pak As, Pak Ar dan Pak Em dan anaknya Adil ternyata
mereka baru akan makan malam dan karena perut memang sudah lapar, rencana
sholat diundur dulu dan menggantinya dengan kegiatan makan malam dulu, walau
dengan sarung sholat melilit pinggang, penulis pun larut makan dengan anggota
rombongan. Setelah selesai makan kami
didatangi oleh Iya (anak perempuan Pak Eri dan Buk Ram) yang memberi tahukan
bahwa beras yang ditanak telah matang dan mempersilahkan menjemputnya ke kamar
Buk Ram.
Karena
nasi tersebut tidak kami jemput, oleh istri penulis diletakkan di kamarnya sampai kami menjemputnya kembali yang sampai
hari pagi memang tidak penulis jemput karena sudah makan malam.
Setelah
merapikan kembali lantai kamar tidur Pak As, Pak Ar dan Pak Em dan anaknya
Adil, karena penulis yang terakhir makan malam itu, penulis pun meminjam tikar
sholat Pak Ar, yang pada malam itu walau sedang asyik main kertas cheki menyempatkan
diri juga mengambilkan tikar sholat itu.
Setelah
selesai sholat Isya dan mengembalikan tikar sholat yang dipinjam, beberapa
menit kemudian penulis menemani Pak Ar, Pak As dan Pak Bujang bermain kertas Cheki
yang nama-nama sebahagian kertas itu yang penulis ketahui adalah Batuang Aluih,
Pacah dan Tuduang lainnya penulis tidak ketahui dan memang tidak ingin
mengetahuinya, penulis pamit tidur duluan walau jam dinding sudah menunjuk jam
00.07 malam.
Belum
lama berbaring, di telinga entah kiri entah kanan, penulis mendengar dengungan
nyamuk yang membuat mata sulit tidur, dan karena belum membelinya maka terpaksa
penulis minta kepada tetangga lain kamar lagi, sementara pergi membeli sendiri
penulis takut dan belum mengenal lingkungan di sekitar SLBN Pembina Medan itu.
Setelah menyalakan obat nyamuk tadi, penulis pun tidur.
Bangun
pagi, mandi dan sholat Subuh penulis bersiap-siap untuk berangkat ke Belawan,
pelabuhan kapal di Medan. Bagi penulis sendiri, di Belawan ini nanti akan membeli
sebuah power bank untuk baterai cadangan HP penulis, yang ternyata setelah
sampai di tempat tujuan tidak ada barang yang dicari, dan kegiatan penulis
serta istri di Belawan itu hanya makan siang di sebuah Rumah Makan Padang
disana, yang memang masakannya benar-benar nikmat dengan harga bayar yang
sepadan.
Di
Medan ini untuk pergi kemana-mana anda pembaca sekalian tidak akan menemukan
angkutan umum beroda dua bernama Ojek, yang ada disana adalah Becak Mesin,
angkutan umum yang menggunakan gabungan antara becak dan sepeda motor.
Setelah
dari pelabuhan Belawan, bus rombongan berangkat menuju Istana Maimun. Istana
Maimun sendiri besar arealnya hanya seperempat luas Istana Pagaruyung yang ada
di Tanah Datar, Sumatera Barat, dengan membayar karcis masuk Rp. 5.000 / orang,
pengunjung bisa berfoto ria didalamnya, dan berfoto dengan mengenakan pakaian
kebesaran pengantin Melayu dengan sewa Rp.
10. 000/ jam, serta melihat keris pusaka raja, dan berbelanja pakaian
bertuliskan Maimun palace, Lake Toba dan Raya Mosque, Medan.
Di
depan istana Maimun ada sebuah benda peninggalan bersejarah bernama Mariam
Buntung dengan karcis masuk Rp. 5.000 / orang. Menurut pengamatan penulis dan
penuturan pengunjung yang pernah masuk ke dalam ruangan tempat penyimpangan
mariam buntung itu, pengunjung akan bisa mendengar adanya tetesan air dan bunyi
telapak kuda dari dalam meriam buntung itu yang tidak ada hubungannya dengan
keterangan yang diukir dengan tembok berukir menjelaskan perihal mariam buntung
itu yang dibuat di luar bangunan mariam buntung itu.
Menurut
keterangan pada tembok berukir yang menjelaskan perihal mariam buntung itu
sendiri adalah perwujudan dari salah seorang putri raja yang tidak tahan hati
lagi melihat penindasan penjajah Belanda terhadap kerajaan Samudera Pasai dan
menjadikan Istana Maimun sebagai istananya, lalu mengubah wujudnya menjadi
sebuah meriam. Pada waktu perubahan wujud itu terjadi, meriam itu sangat panas
sehingga terbelah menjadi dua, yang sebelahnya hilang di bawa angin dan
sebelahnya tertinggal di halaman istana Maimun dengan posisi menghadap ke
gerbang istana Maimun.
Setelah
keluar dari gerbang Istana Maimun, sebahagian anggota rombongan dan penulis
serta istri kembali ke tempat parkir bus kami yang diparkirkan di pelataran
kiri Mesjid Raya Medan. Kebetulan waktu itu waktu Ashar sudah masuk dan hanya
istri penulis yang diketahui melaksanakan Sholat Ashar di mesjid tertua di kota
Medan itu. Waktu terus berlalu, penulis menyempatkan diri buang air kecil di
tempat yang disediakan dan berudhuk sesudahnya. Di depan tangga pintu masuk
Mesjid itu penulis berkenalan dengan salah seorang laki-laki paruh baya, yang
kalau penulis tidak salah namanya Pak Jun, berstatus sebagai security sebuah
bank dan mempunyai dua (2) orang anak. Kepada Pak Jun, dari tampangnya yang
suka memakai peci seperti yang penulis pakai, penulis memberanikan diri
bertanya kepadanya perihal soal Ashar yang telah penulis jamak taqdim ke sholat
Zuhur, apakah disunnahkan untuk mengulang sholat Ashar lagi. Secara sepihak Pak
Jun, mengatakan semua didasarkan kepada niat semula menjamak taqdim. Kalau
niatnya sudah benar tidaklah perlu diulang lagi sholat Asharnya.
Sedang
berbincang-bincang demikian, datang istri penulis yang telah selesai
melaksanakan sholat Asharnya, dan otomatis saja penulis menyuruh sang istri
mengabadikan perkenalan di tangga mesjid Raya itu ke dalam foto. Melalui
tulisan ini juga penulis ingin mengucapkan rasa senang saya berkenalan dengan
anda, Pak Jun, dan kalau sempat tolong beri komentar sebagai pertanda saya
menunaikan janji saya kepada anda.
Setelah
bertukar pengalaman dan bercerita dengan Pak Jun, kenalan di tangga Mesjid
Raya, Medan, Penulis dan istri saling bertukar peran mengambil foto untuk
mengabadikan kenangan kami pernah berkunjung ke Mesjid Raya, Medan.
Setelah
merasa cukup dengan foto kenangan yang diambil, penulis dan istri kembali ke
tempat parkir bus dan masih belum seberapa anggota rombongan yang kembali dari
kunjungan ke Istana Maimun. Kami pun berdua melihat-lihat beberapa rombongan
pedagang asongan yang menjaja dagangannya di pelataran parkir mesjid dekat
dengan bus yang kami tumpangi parkir.
Mendekati
waktu Shalat Maghrib, seluruh anggota rombongan terlihat berbondong-bondong
menuju ke Mesjid Raya itu untuk melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah. Begitu
juga halnya penulis dan istri, kami berdua pun bergegas mengambil udhuk untuk
ikut shalat Maghrib berjama’ah.
Penulis
masuk mesjid saat Azan Maghrib dikumandangkan. Dengan sound system yang
terdengar banyak berisiknya dari pada lafadz Azan yang tengah dikumandangkan,
Azan selesai dikumandangkan diiringi dengan kegiatan membaca do’a sesudah azan.
Di
Mesjid Raya ini pulalah penulis melihat ada beberapa anggota jama’ah
melaksanakan sholat sunnat sebelum Maghrib yang tidak penulis lihat dimesjid
lainnya.
Setelah
selesai sholat Maghrib dan melaksanakan sholat sunnat rawatib sesudah sholat
Maghrib dua (2) rakaat, penulis berdiri dan melihat mihrab tertinggi yang
pernah ada di dalam Mesjid Raya tersebut. Dipastikan kalau yang menjadi khatib
untuk menyampaikan risalah agama di atas mihrab itu sudah tua, akan sangat
susah baginya untuk turun naik dari dan ke mihrab itu, atau mihrab itu dibuat
sedemikian tinggi untuk sekedar pajangan saja, sementara untuk pelaksanaan
khatib Jum’at atau lainnya, sang khatib di suguhkan sebuah kursi untuk duduk.
Yang jelas saat penulis melihat mihrab itu, mihrab itu tidak sedang digunakan.
Setelah
mengambil foto mihrab tertinggi itu penulis melangkah keluar menuju pintu
mesjid, dan menjelang sampai di pintu mesjid, penulis bertemu seorang anggota
jama’ah sholat Maghrib yang melihat kearah penulis dan penulis ucapkan salam
kepadanya yang dijawab dengan salam juga, yang tanpa penulis minta menjelaskan
kepada penulis bahwa Mesjid Raya itu dibangun tahun 1906 M, dan untuk
mengabadikan awal pembangunan Mesjid itu oleh salah seorang alim ulama yang
hafal Al-Qur’an 30 juz, menyelesaikan penulisan dengan tulisan tangan kitab
suci Al-Qur’an 30 juz yang bersamaan waktu dengan selesainya pembangunan mesjid
Raya di kota Medan ini, dan Al-Qur’an itu sengaja disimpan dalam lemari kaca
dan diletakkan di sebelah kiri pintu keluar Mesjid Raya, Medan.
Setelah
mengambil foto Al-Qur’an 30 juz yang ditulis tangan, penulis pun mohon diri
kepada laki-laki paruh baya yang menjelaskan kepada penulis tentang tahun
pendirian Mesjid Raya, Medan dan perihal Al-Qur’an 30 juz yang ditulis tangan
tadi.
Sesampai
di halaman mesjid yang begitu luas, penulis disambut sang istri yang telah
lebih dahulu selesai sholat Maghrib. Dari halaman mesjid beserta anggota
rombongan kembali ke tempat bus yang kami tumpangi diparkir, dan ternyata belum
juga seluruh anggota rombongan kembali, terpaksa beberapa menit lagi kemudian
kami menunggu anggota rombongan kembali semuanya.
Sekitar
jam 19.20 W.I.B bus yang kami tumpangi berputar arah kembali menuju ke SLBN
Pembina di Jalan Utama Medan dan kamipun sampai di tujuan jam 21.00 W.I.B.
Perjalanan itu menjadi begitu lama karena sebelumnya kami singgah di sebuah
tempat penangkaran burung bangau putih dan ular sawah.
Dari
keterangan salah seorang nara sumber dari SLBN Pembina Medan yang ikut dengan
kami dalam perjalanan ke Belawan, Istana Maimun dan Mesjid Raya Medan
menjelaskan bahwa di pagi hari semua burung bangau putih itu akan terbang
mencari makan di sekitar kota Medan dan pada sore harinya mereka berkumpul
kembali ke tempat penangkaran yang tidak dikandangi tersebut. Terakhir diketahui lokasi itu
adalah milik salah seorang anggota DPR Pusat kota Medan yang bidang usaha
lainnya adalah usaha kebun kelapa sawit serta perhotelan.
Sesampai
di SLBN Pembina di Jalan Karya, Medan, penulis bersegera menunaikan shalat Isya
dan lagi-lagi terpaksa meminjam tikar sholat kepada Pak Ar. Setelah selesai
sholat, penulis mengambil diary dan pena dan meneruskan penulisan kisah
perjalanan yang sedang dibaca ini.
Tidak
lama diantaranya penulis pun merasakan rasa ngantuk dan ingin tidur. Belum
berapa lama terlelap, penulis mendengar bunyi pintu kamar dibuka dan ketika
penulis bangun ternyata anggota rombongan dari lain kamar (laki-laki) yaitu Pak
Ujang pindah tidur kekamar penulis. dan ketika telah semua barang bawaannya
dipindahkan ke kamar penulis dan Pak Ujang pun bergabung dengan teman-temannya
yang lain untuk bermain kartu Cheki, penulis pun mencoba tidur.
Belum
lama tertidur, lagi-lagi di telinga ini berdenging bunyi nyamuk yang ingin
menganggu tidur penulis. Maka dengan malu-malu penulis pun memberanikan diri
meminta lagi segulung obat nyamuk kepada tetangga lain kamar yang sedang main
kartu Cheki. Pak Em yang sedang bermain kartu Cheki dengan teman-temannya ikut
merasa terganggu oleh dengungan bunyi nyamuk dan menyuruh anaknya Adil, untuk
menyalakan obat nyamuk. Pada waktu itulah penulis meminta melebihkan ambil satu
gulung dan menolong bakar obat nyamuk itu dengan korek api penulis yang sudah
hampir habis gasnya. Dengan petikan berulang kali baru bisa korek api tersebut
nyala. Oleh si Adil anak Pak Em, ditemukannya satu cara untuk membuat korek api
tersebut bisa nyala yaitu dengan membuka tutup di bagian korek api yang
menyalakan api, dengan resiko bagian tersebut menjadi terbakar.
Karena
si Adil membakar obat nyamuk tadi di ruangan tamu dan suasana bermain Cheki
anggota rombongan yang kadang-kadang riuh dan kadang-kadang diam, membuat rasa
kantuk penulis menjadi hilang, dan penulispun duduk menemani mereka bermain
Cheki tapi tidak ikut main.
Tidak
lama berselang, kami yang sedang duduk-duduk di ruang tamu didatangi oleh Bapak
Iriyandi yang meminta tolong membakar obat nyamuk yang dibawanya. Setelah cukup
lama mencoba memetik korek api yang tidak mau hidup karena sudah habis gasnya,
akhirnya penulis menawarkan solusi untuk membawa saja dulu obat nyamuk yang
telah dibakar dan masih menyala. Setelah disetujui, Pak Iriyandi pun berterima
kasih dan berlalu menuju kamar tidurnya dan meninggalkan anggota rombongan yang
sedang bermain cheki dan penulis yang menjadi penonton terbaik anggota
rombongan yang sedang bermain.
Oleh
si Adil, melihat penulis masih memegang saja obat nyamuk yang ditangan dan
belum membakarnya, menawarkan jasa untuk membakar obat nyamuk itu dan penulis
pun mempersilahkannya. Obat nyamuk tersebut dipertemukan antara ujung yang
telah terbakar di pegang dengan tangan kiri dengan ujung lainnya yang belum
terbakar di pegang dengan tangan kanan. Dalam beberapa kali tiup, ternyata
kedua ujung obat nyamuk tersebut bisa terbakar dan menyala, anak yang cukup
kreatif, demikian pemikiran penulis terhadap si Adil.
Setelah
beberapa kali menguap tanda sudah sangat mengantuk, akhirnya penulis pun pamit kepada anggota rombongan yang masih
asyik dengan permainannya, dan berpindah ke dunia lain.
Pagi
yang sunyi, penulis dibangunkan oleh lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Azan
Subuh. Dengan berucap “Alhamdulillahillazi ahyana ba’dama amartana wa ilaihin
nusur” penulis pun beranjak dari tempat tidur, bersegera ke kamar mandi dan
berudhuk untuk melaksanakan shalat Subuh dengan kembali meminjam tikar shalat
Pak Ar yang telah lebih dahulu bangun dari penulis sendiri dan kelihatan telah
selesai mengganti baju tidurnya dan telah lebih dahulu mandi dari penulis.
Setelah
selesai shalat Subuh, penulis pun mandi, mengganti baju tidur dan menemui istri
penulis di kamar terpisah menanyakan masalah makan pagi. Ternyata nasi yang ada
baru nasi yang ditanak semalam yang sudah basi. Ketika istri penulis menanyakan
ketersediaan beras yang dibawa dari rumah dan telah dikompilasikan menjadi satu
dengan beras yang lain telah habis ditanak dan dimakan oleh anggota rombongan
lain. Maka penulis mengajak istri untuk makan pagi di luar saja. Setelah
bertanya kesana sini dimana rumah makan Padang terdekat dan mengecek kelapangan
tempat yang dikasih tunjuk, ternyata rumah makan Padang atau warung nasi
tersebut belum siap dengan pelayanannya bahkan yang lebih parah lagi mereka
menyatakan baru akan siap melayani sekitar jam sepuluh pagi, sementara waktu di
Hp penulis baru menunjukkan jam 07.17 W.I.B.
Perut
yang sudah keroncongan tidak bisa menerima kenyataan ini. Pada saat ini, penulis
menyadari keadaan dimana uang di tangan tidak ada harganya. Walaupun uang ada
segepok di tangan ternyata tidak ada harganya ketika tidak ada barang yang bisa
dibeli.
Perjuangan
kami mencari bagaimana perut yang keroncongan bisa diisi tentunya dengan makanan
yang halal, berakhir ketika kami menemui sebuah warung nasi pinggir jalan dari
arah yang berlawanan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang kami temui. Setelah
membayar dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh penjual warung nasi itu kami
pun kembali ke mess semula yaitu di SLBN Pembina Medan di Jalan Karya. Dalam
perjalanan menjelang sampai di mess, kepada sang istri ditanyakan apakah dia
merasa kenyang dengan makan di warung makan tadi yang spontan dijawabnya
kenyang. Bagi penulis sendiri yang terasa hanya perut sudah terisi walau belum
kenyang. Terakhir kami ketahui ternyata penjual warung nasi itu adalah dari
Mandahiling dengan bahasa Indonesianya yang sangat kental dengan dialek
Mandahilingnya.
Sesampainya
di mess terdengar berita bahwa kepada anggota rombongan diminta supaya berkemas
dan bersiap melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru dengan waktu keberangkatan
sekitar jam 11.00 W.I.B. Setelah mendekati jam 11.00 W.I.B, ternyata ada dari
anggota rombongan yang masih merasa perlu membeli Bika Ambon. Ketika dihubungi
oleh Ketua rombongan ternyata hp nya tidak diangkat, ketika dihubungi lagi hp
nya malah dimatikan. Keadaan ini benar-benar membuat kesal anggota rombongan
lain. Sekalipun di hubungi oleh anggota rombongan lain, Hp-nya masih dimatikan.
Yang ada dalam hati adalah “Pasrah tapi tak rela.”
Jam
keberangkatan ke Pekanbaru yang dijadwalkan semula jam 11.00 W.I.B terpaksa di
cancel lagi menjadi jam 11. 45 W.I.B, tersita karena menunggu anggota rombongan
yang pergi membeli Bika Ambon dan kembali pada jadwal yang sangat telat dari
yang ditentukan. Setelah dicek lagi tidak ada anggota rombongan yang tertinggal
atau belum naik bus, maka bus yang kami tumpangi bergerak meninggalkan kota
Medan yang semakin lama semakin panas.
Karena
kami berangkat hampir mendekati waktu Shalat Zuhur dan bus yang kami tumpangi
baru berhenti mendekati jam 15.10 W.I.B, maka seketika jam digital yang ada di
depan bus menunjukkan pukul 12. 40 W.I.B, penulis mengingatkan istri yang duduk
dekat penulis untuk bertayamum dengan debu yang melekat di bagian belakang
bangku duduk penumpang di depan dan segera melaksanakan Sholat Zuhur dan
mengasharnya serta menjamak taqdim sholat Ashar dan mengqasharnya. Jadi-lah kami melaksanakan shalat Zuhur dan
Ashar sambil duduk di atas bus yang sedang berjalan.
Penulis
yakin, pergerakan apapun dari makhluk di atas bumi semuanya adalah atas izin
Allah S.W.T. Hal ini dibuktikan dengan setelah selesainya kami melaksanakan
sholat Zuhur dan Ashar tadi, tiba-tiba saja Buk Yur, salah seorang anggota
rombongan menawarkan nasi kepada anggota rombongan. Karena penulis memang belum
merasa kenyang walau sudah makan di warung nasi orang Mandahiling tadi,
bergegas saja mengiyakan untuk menerima nasi yang ditawarkan tadi. Tidak lupa
penulis mengucapkan terima kasih kepada Buk Yur atas nasi yang telah ditawarkan
dan dimakan.
Bus
yang kami tumpangi kembali berhenti di sebuah rumah makan yang udara di
sekitarnya dicemari oleh bau pengolahan pabrik kelapa sawit dan diperparah lagi
oleh air yang berwarna kuning yang ditampung dalam sebuah kolam tembok. Di
rumah makan itu penulis dan istri sempat meminta air teh manis sebagai pengisi
perut sedangkan nasi yang dipesan disiasati dengan dibungkus saja dan dimakan
ditempat udara sekitar yang tidak berbau sambil bus berjalan. Di rumah makan
ini anggota rombongan melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar nya.
Sholat
Maghrib dan Isya, penulis dan istri lakukan lagi dengan bertayamum dengan debu
yang melekat di bagian belakang bangku duduk penumpang didepan dan sholatnya
sedang mobil berjalan sesaat jam digital di bus yang kami tumpangi menunjukkan
jam 18.30 W.I.B. Kami tidak yakin, masih akan hidup sampai perhentian bus
berikutnya sementara belum shalat, maka kami segerakan saja pelaksanaannya.
Benar
kiranya, bus yang kami tumpangi berhenti setelah masuk shalat Isya, anggota
rombongan terlihat buru-buru melaksanakan shalat Isya dan Maghrib sewaktu turun
dari bus.
Di rumah makan ini
penulis dan istri baru memberanikan diri makan dimeja rumah makan itu, kesan
yang penulis dapatkan dari rumah makan itu, makanan, pelayanan dan harga
jualnya sepadan dengan kenikmatan yang kami nikmati.
Bus meneruskan perjalanan kembali
melintasi daerah hutan karet dan kelapa sawit. Ketika mendekati waktu sholat
Subuh bus melintasi daerah pengalian minyak yaitu di Minas. Kami sholat Subuh
di mesjid Minas tersebut yang ketika kami selesai berudhuk dan ikut sholat
berjamaah, kami hanya mendapati satu rakaat terakhir sholat Subuh itu.
Bus yang kami tumpangi
melanjutkan perjalanan kembali menuju kota Pekanbaru setelah di ujung-ujung
waktu Subuh dan sampai di kota Pekanbaru sekitar jam 07.01 W.I.B. Sebelum turun dari bus, penulis berinisiatif
untuk menelpon anak dari Kakak Ipar penulis yang sedang kuliah di Universitas
Riau, Pekanbaru berharap semoga dia tinggal dekat tempat bus kami parkir.
Setelah ditelpon, dengan tanggapan suara Hp yang sedikit samar-samar si anak
yang bernama Fitra, tapi lebih akrab kami panggil Adiak. Ternyata si Adiak ini
tidak begitu mengenal lokasi yang penulis sebutkan dan pada akhirnya disepakati
kami bertemu di Simpang Giant sewaktu bus yang kami tumpangi sudah berangkat
menuju kota Batusangkar yaitu sekitar jam 12.00 W.I.B sesuai yang diingatkan
kepala rombongan sewaktu anggota rombongan ingin turun dari bus.
Tepatnya kami berhenti di Simpang
Tiga, Pasar Bawah Pekanbaru atau didepan RRI 4 Pekanbaru atau di dekat rumah
walikota Pekanbaru. Tempat ini penulis ketahui dari salah seorang sopir mobil
pick up L 300 yang penulis sempat berkenalan dengannya dan merupakan tempat
parkir mobil sejenis yang melayani pengangkutan cargo orang pindah rumah bahkan
antar propinsi.
Penulis
dan istri pun melangkah ke bagian dalam Pasar Bawah, Pekanbaru. Kegiatan kami
pertama adalah mencari W.C umum karena istri penulis ada keperluan S.K.J (sasak
ka jamban) yang akhirnya kami dapatkan di sebuah tempat di Pasar Bawah itu.
Selesai itu kami mencari rumah makan atau warung nasi Padang, usaha kami
kembali menjadi sia-sia karena rumah makan atau warung nasi yang kami cari
belum siap memasarkan dagangannya. Untuk pengisi perut kami selingi dengan
makan Mie Ayam yang ternyata cukup mengenyangkan juga.
Sebagai tanda
mengunjungi kota Pekanbaru, penulis dan istri menyempatkan diri membeli nenas
dan setelah dibayar kami bawa ke arah bus untuk disimpan sementara di bagasi
bus. Untungnya lagi nenas tersebut sesudah diikat diletakkan lagi dalam kardus
sehingga mudah dikenali dari luar bus.
Menjelang berangkat dari
Pekanbaru, anggota rombongan kembali diuji kesabarannya dengan adanya anggota
rombongan yang pergi ke rumah saudara tapi belum juga kembali ke bus yang kami
tumpangi walau hari sudah menunjukkan pukul 11.57 W.I.B. Sambil menanti anggota
rombongan yang belum sampai, penulis dan istri meminta izin kepada sopir untuk
sebentar waktu nanti berhenti di depan Giant sebelah rumah sakit jiwa menemui
si Adiak tadi yang dijawab baik tapi jangan lama-lama oleh sang sopir. Tidak
lama diantaranya anggota rombongan yang dinanti pun sampai dan langsung menaiki
bus yang telah sejak tadi dihidupkan; Penulis dan istri mengambil inisiatif duduk
di bagian depan bus, tempat berdirinya knek bus yang lebih agak didepan dari
bangku duduk baris pertama.
Dengan mengambil jalan berbelok
ke kanan dari depan RRI 4 Pekanbaru, memasuki pasar entah apa namanya, lalu
berbelok ke kiri lagi melintasi jalan satu jalur kearah sebuah bundaran dan
berbelok ke kanan lagi melintasi jalan satu arah sampai bus itu melewati jalan
S.K.A. Sewaktu melintasi jalan S.K.A ini sang sopir bertanya kepada penulis
“Simpang Giant nya dimana, Pak?” Orang yang ditanya sama tidak tahunya dengan
orang yang ditanya. Lalu dari arah bangku baris pertama memberi penguatan kepada penulis dan istri
dengan yang mereka ketahui kepada sopir.
Parahnya lagi, dari Hp yang
digunakan nomor si Adiak yang dihubungi menjawab “Nomor yang anda hubungi
sedang tidak aktif atau diluar jangkauan, silahkan hubungi beberapa menit
lagi.” Setelah sekian kali mencoba masih dengan jawaban yang sama akhirnya
penulis memberanikan diri meminta kepada sang sopir untuk menghentikan busnya
sebentar setelah bus berada di depan rumah sakit jiwa dan setelah kami turun,
kami pun disusul oleh si Adiak dengan motornya. Setelah berbincang seperlunya
kami pesankan kepada si Adiak untuk menelpon kembali setelah sampai di tempat
kos.
Benar saja setelah kami berdua
kembali ke bus dan ketika menuju tempat duduk kami di bagian belakang bus, kami
diolok-olok anggota rombongan yang mengingatkan “Jangan menangis, ya!”, “Jangan
menangis, ya!”, “Jangan menangis, ya!”. Sempat juga muncul rasa ingin menangis
itu namun kemudian bisa penulis sikapi
dengan melupakannya, namun tidak dengan sang istri yang setelah sampai di
tempat duduknya sepertinya tidak ingin diganggu. Dalam kebisuan antara kami
berdua, tiba-tiba si Adiak menelpon penulis dan memberitahu bahwa dia sudah
sampai di kost nya. Oleh istri penulis dijelaskan duduk perkara kenapa
pertemuan ini menjadi sebentar itu saja yang penulis yakini bisa dipahami
dengan baik oleh si Adiak dan kami pun mengakhiri pembicaraan.
Satu hal yang penulis kagumi dari
pribadi sopir 1 bus yang kami tumpangi ini adalah kesabarannya menyanggupi
melayani semua kebutuhan anggota rombongan agar senang dengan pelayanannya bahkan
ketika ada anggota rombongan berkeinginan membeli nenas yang dijajakan di
pinggir jalan, malahan dia yang mengingatkan “Bagi yang ingin membeli nenas,
silahkan pilih sendiri .” Ibarat rambai
dihampeah-an, anggota rombongan berebutan keluar dari bus untuk membeli nenas
itu.
Setelah semua anggota rombongan
selesai dengan acara membeli nenasnya, bus kami kembali bergerak menuju kota
Bangkinang, Simpang Pasir Pangarayan, Simpang Piladang, Sungai Tarab, Simpang
Asrama Polisi, Simpang Pincuran Tujuah.
Di
simpang Pincuran Tujuah ini bus kami sempat terhenti sesaat karena dari arah
Lima Kaum ada antrian panjang mobil dan motor menunggu lepas dari halangan badan
besar dan panjang bus yang kami tumpangi, dan didekat bus yang kami tumpangi
ini juga telah tidak bisa bergerak maju atau mundur sebuah sedan Volvo putih
pada jarak sepuluh atau lima sentimeter dekat bagian belakang bus yang kami tumpangi,
namun dengan kelihaian tersendiri antara sopir bus yang kami tumpangi dengan
sopir sedan Volvo putih tadi, kedua buah mobil itu bisa melepaskan diri dengan tidak meninggalkan goresan sedikitpun
satu sama lainnya.
Sewaktu
bus berjalan di depan pom bensin Pincuran Tujuh, penulis mengumumkan kepada
anggota rombongan “Anda memasuki detik-detik terakhir perjalanan anda” dan
penulispun mengajak anggota rombongan untuk menghitung mundur “10, 9, 8, 7, 6,
5, 4, 3, 2, 1, dan 0” bus berhenti di depan gerbang atas SMPN 3 Batusangkar
tepatnya jam 19. 28 W.I.B.
Setelah turun dari bus, anggota
rombongan bergegas mengambil barang bawaan dan belanjaan masing-masing. Penulis
dan istri pun melakukan hal yang sama. Dikarenakan barang bawaan yang tidak
bisa dibawa dengan satu sepeda motor karena banyaknya, akhirnya kami terpaksa
menyewa sebuah ojeg , kami pun sampai di rumah jam 19.59 W.I.B.
Demikianlah kisah perjalanan ini
ditulis semoga ada mamfaatnya bagi pembaca dan penulis sendiri. Dikarenakan tulisan
ini jauh dari kesempurnaan, silahkan kirim ulasan anda melalui muhammadfuad67@yahoo.com.
Terima kasih, dan tolong jawab
salam dari saya
Assalamu’alaikum. w. w.
Sempatkan juga membaca:
-. Teka-teki tentang kendaraan
-. Tips Aman
Mengadakan Perjalanan Dengan Angkutan Umum
Teka-teki
tentang kendaraan
1.
Ajo :
A nyo dari rokok tu nan katuju dek Apak?
Apak E : Indak tau
Ajo : Indak tau, tapi Apak isok juo
tiok hari, dek ambo ado nan katuju dari rokok tu
Apak E : A lo tu?
Ajo : Panjangnyo, kalau lah pendek
ambo buang.
2.
Uniang :
Ajo, lah lamo Ajo pai jo oto?
Ajo : Alah
Uniang : Takah ka Medan ko, tantu alah acok Ajo
ka Medan ko, yo!
Ajo : Iyo
Uniang : Bara buah keloknyo dari Padang ka
Medan ko, Jo?
Ajo : Tigo (asal jawab karena tidak
tahu)
Uniang : Duo nah Jo, ka suok
jo ka kida, jumlahnyo Ajo ituang, mabuak nah awak
dibueknyo Jo.
3.
Pak Ar :
Jo, wakatu oto babelok ko, ban nan ma nan indak baputa, Jo?
Ajo : indak tau ambo do
Pak Ar : Ban serap nah Jo, babelok atau indak
inyo takah itu juo posisi nyo!
4.
Ajo :
Urang naiak honda, a bahaso Arab nyo, dek Apak?
Pak E : Ba duo di ateh ban
5.
Pak Eri :
Jo, nan bagak sopir antaro stokar nyo, Ajo?
Ajo : Indak tau ambo do Pak.
Pak Eri : Bagak lah stokar, Jo.
Mundur kecek stokar, dimundurkan oto dek
sopir, mah
Maju kecek stokar, dimajuan
oto dek sopir, mah
TIPS AMAN
MENGADAKAN PERJALANAN DENGAN ANGKUTAN UMUM
Bagi
sebahagian pembaca yang sudah sangat sering mengadakan perjalanan, tentunya
tidak akan begitu repot dengan urusan budget, pakaian, makanan dan obat-obatan
yang perlu dibawa dalam perjalanan. Lebih tepatnya lagi tulisan ini dialamatkan
kepada pembaca yang akan mengadakan perjalanan dengan menggunakan bus umum.
Sebenarnya
sebatas perjalanan di dalam satu negara dengan bus umum pembaca hanya perlu
membawa KTP, budget, pakaian, makanan dan obat-obatan, serta mungkin beberapa
dokumen penting lainnya.
Masalah
budget (patokan biaya 1 x makan/orang adalah Rp.50.000; berarti untuk satu hari
biaya makan / orang hanya Rp. 150.000). Silahkan sekarang pembaca kalikan
berapa hari perjalanan itu akan dilaksanakan.
Masalah
nasi yang akan dimakan bisa disiasati dengan membungkusnya dari rumah dengan
menggunakan daun pisang. Pembaca ambil beberapa tangkai daun pisang dari
batangnya lalu disangrai sehingga daun itu berubah warna menjadi hijau
kehitaman dan lebih lentur. Masukkan nasi yang masih hangat kedalamnya. Nasi
yang dibungkus dengan daun pisang masih layak dikonsumsi sampai dua hari.
Pembaca bisa menyimpan uang untuk keperluan lain berkat membungkus nasi dengan
daun pisang.
Masih
sekitar masalah makanan, ada bagusnya pembaca membawa serta sebungkus kue
kering dan sebotol minuman air putih ke
tempat duduk pembaca yang bisa diambil kapan saja dibutuhkan.
Bagi
pembaca yang akan menginap beberapa hari di suatu tempat dalam perjalanan
dengan bus umum, ada bagusnya juga membawa serta mok listrik untuk memasak air
untuk keperluan membuat kopi atau teh hangat di pagi hari di tempat penginapan
yang semoga saja ada tersedia arus listriknya.
Masalah
pakaian, ada kecendrungan bagi peserta perjalanan membawa pakaian sebanyak
mungkin padahal yang terpakai perhari itu hanya 1 lembar baju, 1 lembar celana
panjang dan 1 stel pakaian dalam. Artinya lagi adalah untuk 5 hari perjalanan
pp, pembaca hanya membutuhkan 5 lembar baju, 5 lembar celana panjang dan 5 stel
pakaian dalam, sedangkan yang lainnya akan menjadi beban perjalanan saja.
Satu
hal tentang baju dingin. Siapapun kita tidak bisa memastikan perjalanan dan
tempat tujuan yang akan dituju udaranya bagaimana. Mungkin akan dingin atau
sebaliknya. Dengan keberadaan baju dingin didekat tempat duduk kita selama
dalam perjalanan, saat udara dalam perjalanan dingin, baju dingin tadi bisa cepat
dikenakan dan bila udara panas, baju dingin tadi bisa segera dilepaskan.
Masalah
obat-obatan, dalam perjalanan dengan bus umum penyakit yang paling sering
menyerang adalah sakit kepala, diare /
mencret, sakit perut, pegal-pegal dan sulit tidur.
Silahkan kenali
kembali obat apa yang biasanya anda gunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit
di atas.
Demikian tulisan ini dibuat
semoga ada mamfaatnya.
Wassalam.