Minggu, 27 Desember 2015

Tour de Medan and Pekanbaru

Tour de Medan and Pekanbaru

Lama sudah menginginkannya, keinginan melihat-lihat perkembangan daerah lain di luar propinsi, akhirnya kesempatan berkeliling dari Sumatera Barat  ke Medan dan pulangnya lewat Pekanbaru itu terwujud juga. Itu-lah perjalanan studi komperatif yang penulis lakukan dengan keluarga besar SLBN Lima Kaum, Batusangkar yang berjumlah 31 orang pada tanggal 19 sampai dengan tanggal  23 Desember 2015 yang lalu dengan sebuah bus pariwisata dengan fasilitas AC dan toilet didalamnya. Sementara penulis tidak tahu apakah ada bus pariwisata tanpa fasilitas AC dan toilet didalamnya.
Persiapan pelaksanaan kegiatan ini telah dimulai sejak awal semester ganjil 2015 – 2016 yang lalu. Waktu itu, dalam sebuah pertemuan antar majelis guru SLBN Lima Kaum, Batusangkar (maaf lupa mencatat tanggalnya) terbesit rencana mengadakan studi komperatif. Disebut studi komperatif karena kegiatan ini ditujukan untuk mengadakan studi banding ke SLBN Pembina di Medan.
Sangat disayangkan waktu ide ini dicetuskan kegiatan studi komperatif ini dikhususkan hanya untuk guru SLBN Lima Kaum, Batusangkar saja. Dikarenakan penulis bukan guru tetap di sekolah tersebut tapi adalah guru yang menambah jam pelajaran disana, setelah rapat itu selesai, penulis mengusulkan diri untuk diizinkan ikut dalam kegiatan studi komperatif itu kepada Bapak Kepala SLBN Lima Kaum, Batusangkar itu yang hari itu sampai hari ini dijabat Bpk. Iriyandi, S, Pd; usulan penulis ditanggapi dengan pernyataan :”Kalau keluarga bisa ikut, akan lebih baik.” Alangkah senangnya hati penulis mendengar jawaban tersebut.
Waktu terus berlalu, menjelang mendekati hari H, oleh Bpk. Eri, Waka Kesiswaan di sekolah itu menegaskan waktu pendaftaran dan pembayaran terakhir bagi yang akan ikut studi komperatif ini ditetapkan pada minggu ke dua Desember 2015, tepatnya terakhir tanggal 9 Desember 2015 sudah menyerahkan ongkos tanda keikutsertaan kepada Ibu ........, selaku koordinator keuangan kegiatan studi komperatif ini. Mendengar pemberitahuan itu penulis sempat berfikir bagaimana cara menyampaikan persoalan izin kepada kepala sekolah induk penulis sendiri yaitu di SMPN 4 Rambatan yang sampai hari ini dijabat oleh Bapak Ade Nasrullah, S. Pd, dan dari teman-teman sesama guru di sekolah induk memberi nasehat untuk menyampaikan saja secara langsung kepada Bapak Kepala Sekolah.
Dari pertemuan dengan kepala sekolah induk untuk menyampaikan niat ingin ikut studi komperatif ini bersama dengan keluarga besar SLBN Lima Kaum, Batusangkar ditanggapi dengan menyarankan penulis untuk menulis surat izin mengikuti kegiatan ini.
Mengingat hari keberangkatan kami tanggal 19 Desember 2015 adalah hari dimana diadakannya pula rapat hasil ujian semester ganjil 2015 – 2016 di sekolah induk, penulis sikapi dengan mengupayakan jangan sampai nilai rapor yang penulis berikan kepada wali kelas yang penulis ajar bermasalah pada akhirnya.
Mendekati jam 08.00 W.I.B, pada tanggal 19 Desember 2015 itu, penulis pun menaiki sepeda motor dengan diboncengi istri menuju ke SLBN Lima Kaum, Batusangkar, dan menyempatkan diri membeli sebotol aqua isi 1500 ml di sebuah kedai yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal penulis dan istri, dan kami pun sampai di tujuan jam 08.15 W.I.B, yang di depan sekolah itu penulis lihat telah berdiri dan menanti  sebuah bus pariwisata yang bagus dengan promosi fasilitas wi-fi(sekedar iklan saja dan bahkan tidak terlihat wi-fi nya itu sendiri di dalam mobil itu), tempat pengecasan HP, AC dan toilet didalamnya.
Dengan memarkirkan motor penulis di tempat yang aman di sekolah itu terlebih dahulu, selanjutnya penulis bergegas kembali membantu istri untuk menumpuk tas-tas yang berisi pakaian dan perlengkapan bepergian yang telah terlebih dahulu dikumpulkan oleh istri di dekat bagasi mobil, dan setelah memastikan tas mana yang harus ada dibadan dan boleh disimpan di bagasi bus, penulis kemudian memperkenalkan istri kepada keluarga besar SLBN Lima Kaum, Batusangkar yang telah duduk dengan rapi dan manis menanti perintah naik bus yang akan membawa kami berkeliling ke luar propinsi tersebut.
Mumpung belum ada pengumuman untuk menaiki bus itu, maka penulis memberanikan diri menanyakan kepada kondektur bus itu di bagian mana pintu darurat (emergency exit) di bus itu kalau terjadi hal-hal yang tak diinginkan dan mengharuskan penumpang keluar melalui pintu darurat itu. Dengan sabarnya sang konduktor menjelaskan kepada penulis bahwa pintu darurat itu dibuka dengan menarik alat tuas yang ada di sebelah kanan dekat pintu darurat itu,  dan alat tuas itu dilindungi dengan kaca pelindung. Untuk memecahkan kaca pelindung alat tuas itu digunakan alat pemecah kaca yang terpasang utuh disebelah kiri pintu darurat . Dari pertemuan singkat dengan kondektur itu oleh sang konduktor kepada penulis disampaikan “Pak, kalau boleh saya berterus terang, dari sebanyak ini penumpang yang pernah naik bus ini, hanya Bapak yang menanyakan kepada saya tentang pintu darurat ini, yang lainnya saya tidak tahu, Pak, apakah mereka sudah tahu atau tidak mau tahu, Bapak peduli sekali dengan keselamatan orang banyak”. Dengan sedikit rasa bangga disanjung demikian, penulis pun berkilah “Berharap saja-lah mereka sudah tahu dengan pintu darurat ini, dan jika pun belum, kita do’a kan agar mereka cepat mencari tahu. “Sekali lagi terima kasih, Pak” demikian ungkapan konduktor bus itu mengakhiri pembicaraan kami dengan senyumannya yang manis. Terakhir penulis ketahui nama konduktor itu adalah Ajo.
Jam  09.30 W.I.B, bus pariwisata yang kami tumpangi meninggalkan pelataran SLBN Lima Kaum menuju ke arah Simpang Pincuran Tujuh dan menuju ke Simpang Asrama Polisi di Parak Juar dan berbelok ke kiri di Simpang Piladang menuju ke Simpang Baso, di Simpang Baso berbelok ke kiri menuju ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi sesampai di Simpang Empat Manggis berbelok ke kanan menuju Tilatang Kamang, Gadut dan Padang Hijau. Satu yang menjadi catatan tersendiri bagi penulis saat melintasi daerah Padang Hijau ini adalah belokannya. Bagi pembaca yang sudah pernah ke Bengkulu melintasi Kepahiang dari arah Curup atau pernah ke Padang dari Solok melintasi turunan dan tikungan Sitinjau Laut, kesemuanya itu belum seberapa dibandingkan melintasi tikungan dan turunan di Padang Hijau ini. Tikungan, turunan dan tanjakannya dipastikan sangat melelahkan bagi sopir untuk mengemudikan busnya, karena jalanan melalui daerah ini tikungannya lebih patah dibandingkan dengan perlintasan daerah Kepahiang, Sitinjau Laut bahkan dengan Kelok 44 sendiri saat pembaca memasuki kawasan Danau Maninjau dari arah Bukittinggi.
Setelah melintasi daerah Padang Hijau penulis melihat plang papan SMPN 7 Palupuh, kawasan hutan lindung, Polsek dan SMA Angge Palimbanan, melalui hutan lagi, SMPN 3 Bonjol, di Bonjol ini penulis dan rombongan melihat sebuah truk menabrak plang jembatan dan jatuh ke dalam sebuah kali dengan kedalaman lebih kurang 7 (tujuh) meter. Penulis melihat plang sekolah M.A.S Bonjol dan Museum Tuanku Imam Bonjol. Bus rombongan ini berhenti untuk melaksanakan sholat Zuhur berjama’ah dan menjamak taqdim Sholat Ashar serta sekalian mengasharnya dan menikmati makan siang di sebuah rumah makan di Lurah Barangin jam 13.19 W.I.B.
Sekedar berbagi dengan pembaca, dengan ketiadaan aktifitas diatas bus karena menjadi penumpang maka ada bagusnya pembaca membawa serta di tempat duduk kue-kue kering dan sebotol air untuk mengganjal perut agar tidak terlalu keroncongan menanti waktu bus berhenti untuk makan. Strategi ini mampu mengganjal perut dari rasa keroncongan yang melilit.
Setelah beberapa menit berlalu, bus rombongan berangkat dari rumah makan di Lurah Barangin tadi, dan melintasi batas kota Lubuk Sikaping, dan melihat plang SDN 23 Talago, SDN 14 Tanjung Baringin, melintasi kawasan Rimbo Panti, daerah Rao, Padang Aro, Natal, Kota Nopan.
Di kota Nopan ini rombongan melihat lupak dan pematang sawah dibuat sangat kecil dan berbentuk setengah lingkaran tanpa memberi akses untuk diinjak. Apa yang ada di kepala penulis adalah mungkin untuk berpindah dari satu sawah ke sawah yang lain, petani penggarap di sawah itu untuk berpindah dari satu lupak sawah ke lupak sawah lain adalah dengan menginjak bagian dalam sawah dan tidak menginjak pematang lagi, karena pasti akan roboh jika diinjak setelah ditambak (bhs. Min. Pen. Yang berarti pematang sawah yang ditumpuk tanah basah.)
Dari kota Nopan, bus rombongan memasuki kawasan Polres Madina.
Dari kota Nopan ini penulis melihat di pintu masuk pemakaman warga dibangun sebuah gerbang yang bertuliskan huruf-huruf Arab yang karena kencangnya laju bus tidak bisa dibaca. Mungkin maksud dibuat gerbang itu adalah untuk melambangkan sebuah penghormatan terakhir kepada para penghuni kubur di pemakaman tersebut. Entahlah, ini baru persepsi penulis saja.
Dari kota Nopan, bus rombongan memasuki pasar Simangambat (untuk membaca nama pasar ini penulis mulai terbata-bata membacanya, mungkin karena bahasanya yang tidak umum di lidah penulis). Sesampai bus rombongan di Mesjid Hulu Raja, yang penulis ingat berposisi di sebelah kanan menuju ke kota  Padang Sidempuan rombongan berhenti untuk melaksanakan sholat Maghrib dan menjamak tagdim sholat Isya serta sekalian mengqasharnya.
Pada hari Sabtu pagi ini dari Padang Sidempuan kami terus ke kota Tarutung. Kami sampai dan berhenti di pom bensin Prapat jam 05.10 W.I.B, untuk berudhuk di tempat beruduk pom bensin itu dan karena tidak ada tempat sholat di pom bensin itu kami pun melaksanakan sholat Subuh di pelataran pom bensin itu dengan membentangkan tikar plastik (terakhir penulis ketahui bahwa tikar plastik ini dibawa oleh Ibu Ram (Waka Kurikulum SLBN Lima Kaum, Batusangkar), dan mumpung pom bensin itu waktu itu lagi sepi.
Setelah semua anggota rombongan selesai sholat subuh, bus yang kami tumpangi menuju ke kota Prapat, tempat dimana berlokasinya Danau Toba. Udara dingin yang dihembuskan dari arah Danau Toba menyambut anggota rombongan yang sejak naik bus telah dibuat dingin oleh AC bus yang kami tumpangi. Sehingga hampir tidak ada anggota rombongan yang tidak memamfaatkan toilet yang ada di bus tersebut untuk buang air kecil.
Seperti anggota rombongan lainnya, kegiatan pertama kami adalah ber-selfie ria atau berfoto bersama. Di dermaga nagori (bhs. Batak yang berarti desa) Prapat itu kami turun dari bus dan melihat hijaunya danau Toba. Bagi pembaca yang pernah ke desa Sukarami, di Kabupaten Solok, Sumatera Barat tentunya ingat dengan dinginnya daerah itu, dan dinginnya desa Sukarami mungkin sama dengan dinginnya nagori Prapat, pinggir danau Toba ini. Kami disambut oleh inang-inang(ibu-ibu bhs. Batak) yang menjual kacang goreng dan para pedagang laki-laki yang berjubel mendatangi kami yang baru turun bus dengan dagangan kaca matanya.
Penulis dan istri merasa perlu masing-masingnya memiliki satu dan kami pun membeli satu, dan berfoto ria dengan latar belakang kapal pengangkut penumpang yang sedang ditambatkan di dermaga nagori Prapat.
Pagi yang dingin ini tetap menjadi hari yang sibuk bagi kepala SLBN Lima Kaum, Batusangkar ini untuk membuat semua anggota rombongan mendapatkan pengalaman wisata yang menarik. Betapa tidak, saat anggota rombongan sibuk dengan kegiatan selfie atau foto bersama-nya, Bpk. Andi, demikian kami menyebut nama singkat beliau, sibuk bernegosiasi dengan pemilik kapal yang menawarkan kami  jasa pengangkutan melintasi Danau Toba menuju ke Pulau Samosir, yang entah berapa ongkos yang disepakati.
Akhirnya pada jam 09.00 W.I.B kami disuruh menaiki kapal penyeberangan menuju ke Pulau Samosir. Sebelum menuju ke pulau Samosir, kepada kami dari atas kapal penyeberangan dibawa berkeliling menuju ke sebuah teluk di Danau Toba daerah wisata dengan nama Batu Gantung.
Objek wisata Batu Gantung itu sendiri adalah batu stalagnit yang tergantung di sebuah dinding batu alam yang menjorok ke arah dalam danau Toba yang diketahui dalamnya sekitar 450 meter dan luasnya sekitar 1700 meter persegi, demikian yang penulis baca dari keterangan yang ada di google.
Dari Batu Gantung kami meneruskan pelayaran ke Pulau Samosir. Pelabuhan pendaratan kapal kami di Pulau Samosir bernama Tomok. tempat dimana kita disambut dengan membayar bea masuk Rp. 2.000/orang.
Di pintu masuk desa Tomok ini kami disambut oleh ibu-ibu penjual ikan Nila dan Gurame yang sudah dikeringkan. Mungkin saat kami turun dari kapal sesampai di desa Tomok harus turun satu persatu disini lah penulis terpisah dari istri dan disusul kemudian dengan jinjingan ikan kering tadi di tangannya.
Satu hal yang mungkin berguna bagi kita semua disaat pergi bersama rombongan adalah perlu buat kita mencari tahu bahkan kalau memungkinkan jalan bersama dengan anggota rombongan yang sudah pernah pergi ke tempat yang sama sebelumnya, siapa tahu dia sudah tahu lebih banyak tentang satu hal.
Hal ini mengemuka ketika melihat banyak dari kaum ibu dari anggota rombongan kami telah membeli ikan kering tadi seharga Rp.20. 000/bungkus sewaktu tiba di Tomok pagi ini, padahal setelah agak siang harganya hanya Rp. 10.000/bungkus. Begitu juga saat memasuki pasar yang menjual aneka kerajinan tangan dan oleh-oleh. Melihat bagusnya pajangan dagangan di pintu masuk desa Tomok itu siapapun pasti tergiur untuk langsung membeli, padahal toko yang menjual dagangan yang sama bukan hanya itu, banyak lagi toko lainnya ke arah belakang dengan harga yang lebih murah dengan kualitas barang yang sama. Artinya sewaktu melihat sesuatu yang ingin dibeli, jangan langsung dibeli, lihatlah dulu tempat lain untuk mencari harga yang lebih murah.
Pengalaman membeli lebih mahal ini juga dialami oleh anggota rombongan yang membeli ukiran garpu dan sendok di toko dekat dermaga, sedangkan anggota rombongan lainnya yang membeli di toko lainnya bisa membeli dengan harga lebih murah dengan mutu barang yang sama.
Ke arah belakang dari pasar kerajinan tangan dan oleh-oleh tadi penulis dan istri melihat patung Si Gale-Gale yang merupakan patung yang dibuat mirip wajah anak raja yang mati dalam peperangan melawan Belanda yang merupakan penghibur bagi sang raja atas kematian anaknya dan menyempatkan berfoto ria didekat patung Sigale-gale dengan latar belakang rumah adat Batak Karo.
Setelah dari patung si Gale-gale kami menuju ke makam raja-raja Batak yang ditutupi dengan batu-batu besar. Konon pada waktu-waktu tertentu batu-batu tersebut berubah warna menjadi merah dan hijau, dan yang penulis dan istri lihat batu tersebut tetap berwarna seperti warna batu biasa.
Setelah puas berbelanja ini dan itu di lingkungan luar patung si Gale-Gale dan makam batu raja-raja Batak Karo itu, penulis dan istri mencari rumah makan, tidak begitu lama akhirnya kamipun menemukan satu diantaranya dan yang menjadi penjualnya adalah orang dari Maninjau.
Dengan kesan memuaskan dari rasa makanan dan harga makanan di rumah makan itu dan tidak ada lagi yang ingin dibeli, maka penulis dan istri pun meneruskan perjalanan ke arah kanan dari rumah makan tadi, dan yang kami lihat adalah deretan toko-toko yang menjual aneka kerajinan tangan dan oleh-oleh yang telah kami lihat sejak tadi. Kami pun memutuskan untuk berbalik arah menuju ke dermaga tempat kapal kami semula berlabuh.
Menjelang sampai di pelabuhan itu, pandangan penulis tertuju pada sebuah toko yang menjual aneka ukuran seruling khas Batak Karo. Kebetulan dari dalam toko sedang diputarkan instrumentalia lagu Batak dan didepan toko seorang pria paruh baya dengan trampilnya memainkan seruling khas Batak Karo. Pertemuan singkat dengan pria paruh baya yang sedang asyik memainkan alat tiup khas Batak Karo itu di depan toko itu, cukup memberi kepuasan tersendiri bagi penulis dan istri akan bunyi khas alat tiup tersebut. Namun disayangkan, kenangan singgah dan berkenalan dengan pria paruh baya yang sedang meniup seruling khas Batak Karo itu tidak terfikir untuk diabadikan dengan berfoto bersama dan menyesali tidak membeli satupun seruling itu.  
Menjelang sampai di pelabuhan, istri tercinta membeli sebuah baju dingin lengan panjang yang bermerek Lake Toba. Setelah membayar sesuai harga yang disepakati, kamipun melangkah menuju ruang tunggu di pelabuhan itu, yang ternyata telah banyak dari anggota rombongan kami menanti disana.
Untuk mengisi waktu dan mengabadikan kenangan pernah ke Tomok, pelabuhan memasuki pulau Samosir penulis dan istri menyempatkan diri untuk berfoto ria di dermaganya yang dilatar belakangi oleh banyak inang-inang yang sedang menjual ikan kering, kacang tanah dan seorang pedagang kaca mata.

Pada jam 12.00 W.I.B kami pun meninggalkan nagori Tomok menuju kembali ke desa Prapat tempat dimana bus yang kami tumpangi menanti anggota rombongan untuk melanjutkan perjalanan menuju kota Medan.
Setelah sampai di Prapat, penulis, Pak Eri dan Pak Ar (anggota rombongan dari kalangan orang tua murid) setengah berlari menuju ke mesjid terdekat di Prapat lebih kurang berjarak 300 meter dari tempat bus kami parkir. Menjelang sampai di mesjid, kami melintasi sebuah pertigaan yang merupakan gerbang kantor Kapolda Prapat yang mendirikan sebuah baliho dengan foto Kapolda nya yang berukuran 10 x 5 meter. Satu hal yang menarik hati bagi kami pada tulisan baliho itu adalah” Jatuh ke aspal tanpa helm tidak seenak jatuh cinta, jangan terjadi kecelakaan disini, rumah sakit jauh.” Tulisan di baliho yang sebenarnya disalin dari apa yang ada di internet.
Setelah selesai sholat kami berhenti sejenak di luar mesjid. Tidak lama diantaranya,  kami didatangi oleh sekelompok pedagang kaca mata yang ternyata sebahagian dari mereka juga dari Sumatera Barat dan sekelompok anggota rombongan kami dari kelompok ibu-ibu yang memamfaatkan waktu dengan membawa peralatan mandi dan mereka pun bermandi-mandi ria di mesjid itu.
Setelah sekian waktu berlalu dan dengan tidak menunggu anggota rombongan perempuan yang sedang mandi, anggota rombongan laki-laki melangkah kembali menuju ke tempat bus kami parkir. Ternyata di sebuah kedai di pinggir danau Toba itu, Pak Em, Adil(putra Pak Em) dan Pak As (anggota rombongan lainnya) telah hampir selesai menikmati kopi hangat mereka.
Bus kami meninggalkan danau Toba / nagori Prapat jam 13.30 W.I.B, kami sampai di Pematang Siantar, terus ke Tebing Tinggi, dan berhenti sejenak di pom bensin Sergai. Sambil berhenti mengisi minyak bus, sebahagian anggota rombongan memamfaatkan waktu dengan menikmati pical (makanan terbuat dari mie kuning, kentang dilumari dengan kuah kacang, dan perasan jeruk nipis dan asam jawa) dan rujak (potongan jambu biji, nenas, semangka atau melon yang  dilumari dengan kuah kacang dan perasan jeruk nipis dan asam jawa).
Setelah selesai menikmati pical dan rujak tadi, penulis berkeinginan merokok dan karena di lingkungan pom bensin penulis sedikit kesulitan mencari tempat untuk merokok. Melihat penulis yang gelisah sambil memegang kotak rokok, salah seorang pedagang asongan roti ikan menyapa penulis dengan menanyakan “kepingin merokok, ya, Pak?”. Langsung saja penulis jawab “Benar, Pak, tapi disini pom bensin, Pak, kita dilarang merokok disini.!” Si Bapak tadi langsung menjawab”Bukankah saya merokok, nanti kalau kena tegur, saya lah yang akan ditegur duluan”mendengar penjelasannya demikian, penulis pun memberanikan diri mengambil rokok dan menyalakannya. Sungguh nikmat rokok itu dihisap walau dari pelataran pom bensin itu beterbangan debu tembok pelataran pom bensin yang  mengelupas yang dihembus oleh knalpot trailer dan bus-bus yang mengisi minyak di pom bensin itu.
Sambil terus menikmati isapan demi isapan rokok yang dinyalakan tadi, penulis sempat berkenalan dengan pedagang asongan tadi, yang dari pengakuannya dia adalah bekas seorang sopir truk dan pernah menjadi sopir bus. Karena miss management hidup katanya, akhirnya dia memilih menjadi pedagang asongan, walau dari dalam sakunya dengan bangga dia memperlihatkan SIM B 2 nya walau tidak penulis minta diperlihatkan sebagai tanda bukti. Sewaktu kami anggota rombongan mencoba mempengaruhi pendiriannya untuk mempertimbangkan kembali meneruskan usahanya untuk berjualan asongan roti ikan untuk beralih profesi kembali menjadi sopir, dengan keyakinan yang dimilikinya si Bapak pedagang roti ikan itu tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk berusaha berjualan roti ikan. Sebagai penutup pembicaraan kami karena bus yang kami tumpangi sudah siap-siap meneruskan perjalanan, penulis sempat mengatakan kepada si Bapak pedagang roti ikan itu “Keteguhan hati Bapak dengan pendiriannya, itu yang sangat saya banggakan.” Dengan senyum yang tersungging di bibir pertanda dia senang dengan perbincangan itu, si Bapak pedagang roti ikan berucap” Terima kasih Pak, selamat jalan, semoga selamat sampai di tujuan.” Dan penulis pun membalas “Terima kasih, Pak, lanjutkan perjuangan!” dan memberikan lambaian selamat tinggal kepadanya yang entah bila akan bertemu lagi.
Dari Sergai (entah kabupaten atau kecamatan) bus kami memasuki kecamatan Parbaungan dan memasuki batas kota Medan untuk berhenti sejenak melaksanakan sholat Maghrib. Setelah beberapa menit berlalu bus rombongan sampai di SLBN Pembina di Jalan Karya (penduduk setempat menyebutnya Karya Ujung) jam 20.15 W.I.B. Karena bus yang kami tumpangi tidak bisa masuk ke jalan itu dikarenakan bentangan kawat listrik antar rumah yang sangat rendah akhirnya diputuskan untuk berjalan kaki saja ke lokasi SLBN Pembina yang berjarak lebih kurang 300 meter dari tempat bus yang kami tumpangi berhenti.
Menjelang sampai di SLBN Pembina Medan itu, anggota rombongan disambut oleh suara musik seperti orgen tunggal yang digelar waktu ada pesta pernikahan di Kabupaten Tanah Datar yang digelar di sebuah warung orang Batak yang tengah mabuk-mabuk disana. Belakangan diketahui, kepada orang-orang yang tengah minum di warung itu telah diingatkan oleh Kepala Security SLBN Pembina untuk tidak mengganggu tamu SLBN Pembina dari Padang. Melalui tulisan ini penulis dan anggota rombongan studi komperatif SLBN Lima Kaum, Batusangkar mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Kepala Security dan aparat SLBN Pembina Medan, atas perlindungan keamanan yang telah diberikan kepada kami, sekali lagi terima kasih, semoga amal perbuatan Bapak-Bapak semua dibalasi dengan pahala berlipat ganda dan dimurahkan rezeki oleh Allah S.W.T.
Tepatnya anggota rombongan sampai di SLBN Pembina Medan jam 20.15 (hari Minggu malam). Penulis sendiri mendapatkan kamar nomor 208 dengan empat (4) buah tempat tidur dan sendirian, sementara anggota rombongan laki-laki lain tidur di kamar nomor 206 dengan fasilitas tiga (3) tempat tidur dan ada dua orang anggota rombongan dewasa dan satu anak-anak disana(Pak Ujang, Windi, anak buk Vina), dan di kamar 207 dengan tiga buah tempat tidur dan  dihuni oleh tiga anggota rombongan dewasa dan satu anak kecil (laki-laki) disana(Pak Ar, Pak Em dan anaknya Adil, serta Pak As).
Penulis sendiri setelah meletakkan semua peralatan bepergian yang dibawa ke  kamar, menyegerakan diri untuk mandi, setelah dua hari badan ini tidak merasakan sejuknya air, benar-benar penulis gunakan kesempatan itu untuk menghilangkan semua debu yang melekat di badan dan muka dengan menggunakan pencuci muka berkali-kali dilanjutkan dengan menyabuni sekujur badan sampai terasa tidak ada lagi rasa kesat di kulit. Tidak disadari banyaknya air yang telah penulis gunakan hampir setengah bak mandi.
Dengan mengisi kembali bak mandi melalui pemutaran kran air, penulis pun meninggalkan kamar mandi dan bersegera mengambil pakaian pengganti dan peralatan sholat yang ternyata tidak ada penulis bawa dan terpaksa meminjam kepada tetangga lain kamar.
Sesampai di kamar tetangga yang dihuni oleh Pak As, Pak Ar dan Pak Em dan anaknya Adil ternyata mereka baru akan makan malam dan karena perut memang sudah lapar, rencana sholat diundur dulu dan menggantinya dengan kegiatan makan malam dulu, walau dengan sarung sholat melilit pinggang, penulis pun larut makan dengan anggota rombongan.  Setelah selesai makan kami didatangi oleh Iya (anak perempuan Pak Eri dan Buk Ram) yang memberi tahukan bahwa beras yang ditanak telah matang dan mempersilahkan menjemputnya ke kamar Buk Ram.
Karena nasi tersebut tidak kami jemput, oleh istri penulis diletakkan di kamarnya  sampai kami menjemputnya kembali yang sampai hari pagi memang tidak penulis jemput karena sudah makan malam.
Setelah merapikan kembali lantai kamar tidur Pak As, Pak Ar dan Pak Em dan anaknya Adil, karena penulis yang terakhir makan malam itu, penulis pun meminjam tikar sholat Pak Ar, yang pada malam itu walau sedang asyik main kertas cheki menyempatkan diri juga mengambilkan tikar sholat itu.
Setelah selesai sholat Isya dan mengembalikan tikar sholat yang dipinjam, beberapa menit kemudian penulis menemani Pak Ar, Pak As dan Pak Bujang bermain kertas Cheki yang nama-nama sebahagian kertas itu yang penulis ketahui adalah Batuang Aluih, Pacah dan Tuduang lainnya penulis tidak ketahui dan memang tidak ingin mengetahuinya, penulis pamit tidur duluan walau jam dinding sudah menunjuk jam 00.07 malam.
Belum lama berbaring, di telinga entah kiri entah kanan, penulis mendengar dengungan nyamuk yang membuat mata sulit tidur, dan karena belum membelinya maka terpaksa penulis minta kepada tetangga lain kamar lagi, sementara pergi membeli sendiri penulis takut dan belum mengenal lingkungan di sekitar SLBN Pembina Medan itu. Setelah menyalakan obat nyamuk tadi, penulis pun tidur.
Bangun pagi, mandi dan sholat Subuh penulis bersiap-siap untuk berangkat ke Belawan, pelabuhan kapal di Medan. Bagi penulis sendiri, di Belawan ini nanti akan membeli sebuah power bank untuk baterai cadangan HP penulis, yang ternyata setelah sampai di tempat tujuan tidak ada barang yang dicari, dan kegiatan penulis serta istri di Belawan itu hanya makan siang di sebuah Rumah Makan Padang disana, yang memang masakannya benar-benar nikmat dengan harga bayar yang sepadan.
Di Medan ini untuk pergi kemana-mana anda pembaca sekalian tidak akan menemukan angkutan umum beroda dua bernama Ojek, yang ada disana adalah Becak Mesin, angkutan umum yang menggunakan gabungan antara becak dan sepeda motor.
Setelah dari pelabuhan Belawan, bus rombongan berangkat menuju Istana Maimun. Istana Maimun sendiri besar arealnya hanya seperempat luas Istana Pagaruyung yang ada di Tanah Datar, Sumatera Barat, dengan membayar karcis masuk Rp. 5.000 / orang, pengunjung bisa berfoto ria didalamnya, dan berfoto dengan mengenakan pakaian kebesaran pengantin  Melayu dengan sewa Rp. 10. 000/ jam, serta melihat keris pusaka raja, dan berbelanja pakaian bertuliskan Maimun palace, Lake Toba dan Raya Mosque, Medan.
Di depan istana Maimun ada sebuah benda peninggalan bersejarah bernama Mariam Buntung dengan karcis masuk Rp. 5.000 / orang. Menurut pengamatan penulis dan penuturan pengunjung yang pernah masuk ke dalam ruangan tempat penyimpangan mariam buntung itu, pengunjung akan bisa mendengar adanya tetesan air dan bunyi telapak kuda dari dalam meriam buntung itu yang tidak ada hubungannya dengan keterangan yang diukir dengan tembok berukir menjelaskan perihal mariam buntung itu yang dibuat di luar bangunan mariam buntung itu.
Menurut keterangan pada tembok berukir yang menjelaskan perihal mariam buntung itu sendiri adalah perwujudan dari salah seorang putri raja yang tidak tahan hati lagi melihat penindasan penjajah Belanda terhadap kerajaan Samudera Pasai dan menjadikan Istana Maimun sebagai istananya, lalu mengubah wujudnya menjadi sebuah meriam. Pada waktu perubahan wujud itu terjadi, meriam itu sangat panas sehingga terbelah menjadi dua, yang sebelahnya hilang di bawa angin dan sebelahnya tertinggal di halaman istana Maimun dengan posisi menghadap ke gerbang istana Maimun.


Setelah keluar dari gerbang Istana Maimun, sebahagian anggota rombongan dan penulis serta istri kembali ke tempat parkir bus kami yang diparkirkan di pelataran kiri Mesjid Raya Medan. Kebetulan waktu itu waktu Ashar sudah masuk dan hanya istri penulis yang diketahui melaksanakan Sholat Ashar di mesjid tertua di kota Medan itu. Waktu terus berlalu, penulis menyempatkan diri buang air kecil di tempat yang disediakan dan berudhuk sesudahnya. Di depan tangga pintu masuk Mesjid itu penulis berkenalan dengan salah seorang laki-laki paruh baya, yang kalau penulis tidak salah namanya Pak Jun, berstatus sebagai security sebuah bank dan mempunyai dua (2) orang anak. Kepada Pak Jun, dari tampangnya yang suka memakai peci seperti yang penulis pakai, penulis memberanikan diri bertanya kepadanya perihal soal Ashar yang telah penulis jamak taqdim ke sholat Zuhur, apakah disunnahkan untuk mengulang sholat Ashar lagi. Secara sepihak Pak Jun, mengatakan semua didasarkan kepada niat semula menjamak taqdim. Kalau niatnya sudah benar tidaklah perlu diulang lagi sholat Asharnya.
Sedang berbincang-bincang demikian, datang istri penulis yang telah selesai melaksanakan sholat Asharnya, dan otomatis saja penulis menyuruh sang istri mengabadikan perkenalan di tangga mesjid Raya itu ke dalam foto. Melalui tulisan ini juga penulis ingin mengucapkan rasa senang saya berkenalan dengan anda, Pak Jun, dan kalau sempat tolong beri komentar sebagai pertanda saya menunaikan janji saya kepada anda.

Setelah bertukar pengalaman dan bercerita dengan Pak Jun, kenalan di tangga Mesjid Raya, Medan, Penulis dan istri saling bertukar peran mengambil foto untuk mengabadikan kenangan kami pernah berkunjung ke Mesjid Raya, Medan.

  Setelah merasa cukup dengan foto kenangan yang diambil, penulis dan istri kembali ke tempat parkir bus dan masih belum seberapa anggota rombongan yang kembali dari kunjungan ke Istana Maimun. Kami pun berdua melihat-lihat beberapa rombongan pedagang asongan yang menjaja dagangannya di pelataran parkir mesjid dekat dengan bus yang kami tumpangi parkir.
Mendekati waktu Shalat Maghrib, seluruh anggota rombongan terlihat berbondong-bondong menuju ke Mesjid Raya itu untuk melaksanakan sholat Maghrib berjama’ah. Begitu juga halnya penulis dan istri, kami berdua pun bergegas mengambil udhuk untuk ikut shalat Maghrib berjama’ah.
Penulis masuk mesjid saat Azan Maghrib dikumandangkan. Dengan sound system yang terdengar banyak berisiknya dari pada lafadz Azan yang tengah dikumandangkan, Azan selesai dikumandangkan diiringi dengan kegiatan membaca do’a sesudah azan.
Di Mesjid Raya ini pulalah penulis melihat ada beberapa anggota jama’ah melaksanakan sholat sunnat sebelum Maghrib yang tidak penulis lihat dimesjid lainnya.
Setelah selesai sholat Maghrib dan melaksanakan sholat sunnat rawatib sesudah sholat Maghrib dua (2) rakaat, penulis berdiri dan melihat mihrab tertinggi yang pernah ada di dalam Mesjid Raya tersebut. Dipastikan kalau yang menjadi khatib untuk menyampaikan risalah agama di atas mihrab itu sudah tua, akan sangat susah baginya untuk turun naik dari dan ke mihrab itu, atau mihrab itu dibuat sedemikian tinggi untuk sekedar pajangan saja, sementara untuk pelaksanaan khatib Jum’at atau lainnya, sang khatib di suguhkan sebuah kursi untuk duduk. Yang jelas saat penulis melihat mihrab itu, mihrab itu tidak sedang digunakan.
Setelah mengambil foto mihrab tertinggi itu penulis melangkah keluar menuju pintu mesjid, dan menjelang sampai di pintu mesjid, penulis bertemu seorang anggota jama’ah sholat Maghrib yang melihat kearah penulis dan penulis ucapkan salam kepadanya yang dijawab dengan salam juga, yang tanpa penulis minta menjelaskan kepada penulis bahwa Mesjid Raya itu dibangun tahun 1906 M, dan untuk mengabadikan awal pembangunan Mesjid itu oleh salah seorang alim ulama yang hafal Al-Qur’an 30 juz, menyelesaikan penulisan dengan tulisan tangan kitab suci Al-Qur’an 30 juz yang bersamaan waktu dengan selesainya pembangunan mesjid Raya di kota Medan ini, dan Al-Qur’an itu sengaja disimpan dalam lemari kaca dan diletakkan di sebelah kiri pintu keluar Mesjid Raya, Medan.
Setelah mengambil foto Al-Qur’an 30 juz yang ditulis tangan, penulis pun mohon diri kepada laki-laki paruh baya yang menjelaskan kepada penulis tentang tahun pendirian Mesjid Raya, Medan dan perihal Al-Qur’an 30 juz yang ditulis tangan tadi.
Sesampai di halaman mesjid yang begitu luas, penulis disambut sang istri yang telah lebih dahulu selesai sholat Maghrib. Dari halaman mesjid beserta anggota rombongan kembali ke tempat bus yang kami tumpangi diparkir, dan ternyata belum juga seluruh anggota rombongan kembali, terpaksa beberapa menit lagi kemudian kami menunggu anggota rombongan kembali semuanya.
Sekitar jam 19.20 W.I.B bus yang kami tumpangi berputar arah kembali menuju ke SLBN Pembina di Jalan Utama Medan dan kamipun sampai di tujuan jam 21.00 W.I.B. Perjalanan itu menjadi begitu lama karena sebelumnya kami singgah di sebuah tempat penangkaran burung bangau putih dan ular sawah.
Dari keterangan salah seorang nara sumber dari SLBN Pembina Medan yang ikut dengan kami dalam perjalanan ke Belawan, Istana Maimun dan Mesjid Raya Medan menjelaskan bahwa di pagi hari semua burung bangau putih itu akan terbang mencari makan di sekitar kota Medan dan pada sore harinya mereka berkumpul kembali ke tempat penangkaran yang tidak dikandangi  tersebut. Terakhir diketahui lokasi itu adalah milik salah seorang anggota DPR Pusat kota Medan yang bidang usaha lainnya adalah usaha kebun kelapa sawit serta perhotelan.
Sesampai di SLBN Pembina di Jalan Karya, Medan, penulis bersegera menunaikan shalat Isya dan lagi-lagi terpaksa meminjam tikar sholat kepada Pak Ar. Setelah selesai sholat, penulis mengambil diary dan pena dan meneruskan penulisan kisah perjalanan yang sedang dibaca ini.
Tidak lama diantaranya penulis pun merasakan rasa ngantuk dan ingin tidur. Belum berapa lama terlelap, penulis mendengar bunyi pintu kamar dibuka dan ketika penulis bangun ternyata anggota rombongan dari lain kamar (laki-laki) yaitu Pak Ujang pindah tidur kekamar penulis. dan ketika telah semua barang bawaannya dipindahkan ke kamar penulis dan Pak Ujang pun bergabung dengan teman-temannya yang lain untuk bermain kartu Cheki, penulis pun mencoba tidur.
Belum lama tertidur, lagi-lagi di telinga ini berdenging bunyi nyamuk yang ingin menganggu tidur penulis. Maka dengan malu-malu penulis pun memberanikan diri meminta lagi segulung obat nyamuk kepada tetangga lain kamar yang sedang main kartu Cheki. Pak Em yang sedang bermain kartu Cheki dengan teman-temannya ikut merasa terganggu oleh dengungan bunyi nyamuk dan menyuruh anaknya Adil, untuk menyalakan obat nyamuk. Pada waktu itulah penulis meminta melebihkan ambil satu gulung dan menolong bakar obat nyamuk itu dengan korek api penulis yang sudah hampir habis gasnya. Dengan petikan berulang kali baru bisa korek api tersebut nyala. Oleh si Adil anak Pak Em, ditemukannya satu cara untuk membuat korek api tersebut bisa nyala yaitu dengan membuka tutup di bagian korek api yang menyalakan api, dengan resiko bagian tersebut menjadi terbakar.
Karena si Adil membakar obat nyamuk tadi di ruangan tamu dan suasana bermain Cheki anggota rombongan yang kadang-kadang riuh dan kadang-kadang diam, membuat rasa kantuk penulis menjadi hilang, dan penulispun duduk menemani mereka bermain Cheki tapi tidak ikut main.
Tidak lama berselang, kami yang sedang duduk-duduk di ruang tamu didatangi oleh Bapak Iriyandi yang meminta tolong membakar obat nyamuk yang dibawanya. Setelah cukup lama mencoba memetik korek api yang tidak mau hidup karena sudah habis gasnya, akhirnya penulis menawarkan solusi untuk membawa saja dulu obat nyamuk yang telah dibakar dan masih menyala. Setelah disetujui, Pak Iriyandi pun berterima kasih dan berlalu menuju kamar tidurnya dan meninggalkan anggota rombongan yang sedang bermain cheki dan penulis yang menjadi penonton terbaik anggota rombongan yang sedang bermain.
Oleh si Adil, melihat penulis masih memegang saja obat nyamuk yang ditangan dan belum membakarnya, menawarkan jasa untuk membakar obat nyamuk itu dan penulis pun mempersilahkannya. Obat nyamuk tersebut dipertemukan antara ujung yang telah terbakar di pegang dengan tangan kiri dengan ujung lainnya yang belum terbakar di pegang dengan tangan kanan. Dalam beberapa kali tiup, ternyata kedua ujung obat nyamuk tersebut bisa terbakar dan menyala, anak yang cukup kreatif, demikian pemikiran penulis terhadap si Adil.
Setelah beberapa kali menguap tanda sudah sangat mengantuk, akhirnya penulis pun  pamit kepada anggota rombongan yang masih asyik dengan permainannya, dan berpindah ke dunia lain.
Pagi yang sunyi, penulis dibangunkan oleh lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan Azan Subuh. Dengan berucap “Alhamdulillahillazi ahyana ba’dama amartana wa ilaihin nusur” penulis pun beranjak dari tempat tidur, bersegera ke kamar mandi dan berudhuk untuk melaksanakan shalat Subuh dengan kembali meminjam tikar shalat Pak Ar yang telah lebih dahulu bangun dari penulis sendiri dan kelihatan telah selesai mengganti baju tidurnya dan telah lebih dahulu mandi dari penulis.
Setelah selesai shalat Subuh, penulis pun mandi, mengganti baju tidur dan menemui istri penulis di kamar terpisah menanyakan masalah makan pagi. Ternyata nasi yang ada baru nasi yang ditanak semalam yang sudah basi. Ketika istri penulis menanyakan ketersediaan beras yang dibawa dari rumah dan telah dikompilasikan menjadi satu dengan beras yang lain telah habis ditanak dan dimakan oleh anggota rombongan lain. Maka penulis mengajak istri untuk makan pagi di luar saja. Setelah bertanya kesana sini dimana rumah makan Padang terdekat dan mengecek kelapangan tempat yang dikasih tunjuk, ternyata rumah makan Padang atau warung nasi tersebut belum siap dengan pelayanannya bahkan yang lebih parah lagi mereka menyatakan baru akan siap melayani sekitar jam sepuluh pagi, sementara waktu di Hp penulis baru menunjukkan jam 07.17 W.I.B.
Perut yang sudah keroncongan tidak bisa menerima kenyataan ini. Pada saat ini, penulis menyadari keadaan dimana uang di tangan tidak ada harganya. Walaupun uang ada segepok di tangan ternyata tidak ada harganya ketika tidak ada barang yang bisa dibeli.
Perjuangan kami mencari bagaimana perut yang keroncongan bisa diisi tentunya dengan makanan yang halal, berakhir ketika kami menemui sebuah warung nasi pinggir jalan dari arah yang berlawanan yang ditunjukkan oleh orang-orang yang kami temui. Setelah membayar dengan harga yang ditetapkan sepihak oleh penjual warung nasi itu kami pun kembali ke mess semula yaitu di SLBN Pembina Medan di Jalan Karya. Dalam perjalanan menjelang sampai di mess, kepada sang istri ditanyakan apakah dia merasa kenyang dengan makan di warung makan tadi yang spontan dijawabnya kenyang. Bagi penulis sendiri yang terasa hanya perut sudah terisi walau belum kenyang. Terakhir kami ketahui ternyata penjual warung nasi itu adalah dari Mandahiling dengan bahasa Indonesianya yang sangat kental dengan dialek Mandahilingnya.
Sesampainya di mess terdengar berita bahwa kepada anggota rombongan diminta supaya berkemas dan bersiap melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru dengan waktu keberangkatan sekitar jam 11.00 W.I.B. Setelah mendekati jam 11.00 W.I.B, ternyata ada dari anggota rombongan yang masih merasa perlu membeli Bika Ambon. Ketika dihubungi oleh Ketua rombongan ternyata hp nya tidak diangkat, ketika dihubungi lagi hp nya malah dimatikan. Keadaan ini benar-benar membuat kesal anggota rombongan lain. Sekalipun di hubungi oleh anggota rombongan lain, Hp-nya masih dimatikan. Yang ada dalam hati adalah “Pasrah tapi tak rela.”
Jam keberangkatan ke Pekanbaru yang dijadwalkan semula jam 11.00 W.I.B terpaksa di cancel lagi menjadi jam 11. 45 W.I.B, tersita karena menunggu anggota rombongan yang pergi membeli Bika Ambon dan kembali pada jadwal yang sangat telat dari yang ditentukan. Setelah dicek lagi tidak ada anggota rombongan yang tertinggal atau belum naik bus, maka bus yang kami tumpangi bergerak meninggalkan kota Medan yang semakin lama semakin panas.
Karena kami berangkat hampir mendekati waktu Shalat Zuhur dan bus yang kami tumpangi baru berhenti mendekati jam 15.10 W.I.B, maka seketika jam digital yang ada di depan bus menunjukkan pukul 12. 40 W.I.B, penulis mengingatkan istri yang duduk dekat penulis untuk bertayamum dengan debu yang melekat di bagian belakang bangku duduk penumpang di depan dan segera melaksanakan Sholat Zuhur dan mengasharnya serta menjamak taqdim sholat Ashar dan mengqasharnya.  Jadi-lah kami melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar sambil duduk di atas bus yang sedang berjalan.
Penulis yakin, pergerakan apapun dari makhluk di atas bumi semuanya adalah atas izin Allah S.W.T. Hal ini dibuktikan dengan setelah selesainya kami melaksanakan sholat Zuhur dan Ashar tadi, tiba-tiba saja Buk Yur, salah seorang anggota rombongan menawarkan nasi kepada anggota rombongan. Karena penulis memang belum merasa kenyang walau sudah makan di warung nasi orang Mandahiling tadi, bergegas saja mengiyakan untuk menerima nasi yang ditawarkan tadi. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada Buk Yur atas nasi yang telah ditawarkan dan dimakan.
Bus yang kami tumpangi kembali berhenti di sebuah rumah makan yang udara di sekitarnya dicemari oleh bau pengolahan pabrik kelapa sawit dan diperparah lagi oleh air yang berwarna kuning yang ditampung dalam sebuah kolam tembok. Di rumah makan itu penulis dan istri sempat meminta air teh manis sebagai pengisi perut sedangkan nasi yang dipesan disiasati dengan dibungkus saja dan dimakan ditempat udara sekitar yang tidak berbau sambil bus berjalan. Di rumah makan ini anggota rombongan melaksanakan shalat Zuhur dan Ashar nya.
Sholat Maghrib dan Isya, penulis dan istri lakukan lagi dengan bertayamum dengan debu yang melekat di bagian belakang bangku duduk penumpang didepan dan sholatnya sedang mobil berjalan sesaat jam digital di bus yang kami tumpangi menunjukkan jam 18.30 W.I.B. Kami tidak yakin, masih akan hidup sampai perhentian bus berikutnya sementara belum shalat, maka kami segerakan saja pelaksanaannya.
Benar kiranya, bus yang kami tumpangi berhenti setelah masuk shalat Isya, anggota rombongan terlihat buru-buru melaksanakan shalat Isya dan Maghrib sewaktu turun dari bus.
Di rumah makan ini penulis dan istri baru memberanikan diri makan dimeja rumah makan itu, kesan yang penulis dapatkan dari rumah makan itu, makanan, pelayanan dan harga jualnya sepadan dengan kenikmatan yang kami nikmati.
               Bus meneruskan perjalanan kembali melintasi daerah hutan karet dan kelapa sawit. Ketika mendekati waktu sholat Subuh bus melintasi daerah pengalian minyak yaitu di Minas. Kami sholat Subuh di mesjid Minas tersebut yang ketika kami selesai berudhuk dan ikut sholat berjamaah, kami hanya mendapati satu rakaat terakhir sholat Subuh itu.
               Bus yang kami tumpangi melanjutkan perjalanan kembali menuju kota Pekanbaru setelah di ujung-ujung waktu Subuh dan sampai di kota Pekanbaru sekitar jam 07.01 W.I.B.    Sebelum turun dari bus, penulis berinisiatif untuk menelpon anak dari Kakak Ipar penulis yang sedang kuliah di Universitas Riau, Pekanbaru berharap semoga dia tinggal dekat tempat bus kami parkir. Setelah ditelpon, dengan tanggapan suara Hp yang sedikit samar-samar si anak yang bernama Fitra, tapi lebih akrab kami panggil Adiak. Ternyata si Adiak ini tidak begitu mengenal lokasi yang penulis sebutkan dan pada akhirnya disepakati kami bertemu di Simpang Giant sewaktu bus yang kami tumpangi sudah berangkat menuju kota Batusangkar yaitu sekitar jam 12.00 W.I.B sesuai yang diingatkan kepala rombongan sewaktu anggota rombongan ingin turun dari bus.
               Tepatnya kami berhenti di Simpang Tiga, Pasar Bawah Pekanbaru atau didepan RRI 4 Pekanbaru atau di dekat rumah walikota Pekanbaru. Tempat ini penulis ketahui dari salah seorang sopir mobil pick up L 300 yang penulis sempat berkenalan dengannya dan merupakan tempat parkir mobil sejenis yang melayani pengangkutan cargo orang pindah rumah bahkan antar propinsi.
Penulis dan istri pun melangkah ke bagian dalam Pasar Bawah, Pekanbaru. Kegiatan kami pertama adalah mencari W.C umum karena istri penulis ada keperluan S.K.J (sasak ka jamban) yang akhirnya kami dapatkan di sebuah tempat di Pasar Bawah itu. Selesai itu kami mencari rumah makan atau warung nasi Padang, usaha kami kembali menjadi sia-sia karena rumah makan atau warung nasi yang kami cari belum siap memasarkan dagangannya. Untuk pengisi perut kami selingi dengan makan Mie Ayam yang ternyata cukup mengenyangkan juga.
Sebagai tanda mengunjungi kota Pekanbaru, penulis dan istri menyempatkan diri membeli nenas dan setelah dibayar kami bawa ke arah bus untuk disimpan sementara di bagasi bus. Untungnya lagi nenas tersebut sesudah diikat diletakkan lagi dalam kardus sehingga mudah dikenali dari luar bus.
               Menjelang berangkat dari Pekanbaru, anggota rombongan kembali diuji kesabarannya dengan adanya anggota rombongan yang pergi ke rumah saudara tapi belum juga kembali ke bus yang kami tumpangi walau hari sudah menunjukkan pukul 11.57 W.I.B. Sambil menanti anggota rombongan yang belum sampai, penulis dan istri meminta izin kepada sopir untuk sebentar waktu nanti berhenti di depan Giant sebelah rumah sakit jiwa menemui si Adiak tadi yang dijawab baik tapi jangan lama-lama oleh sang sopir. Tidak lama diantaranya anggota rombongan yang dinanti pun sampai dan langsung menaiki bus yang telah sejak tadi dihidupkan; Penulis dan istri mengambil inisiatif duduk di bagian depan bus, tempat berdirinya knek bus yang lebih agak didepan dari bangku duduk baris pertama.
               Dengan mengambil jalan berbelok ke kanan dari depan RRI 4 Pekanbaru, memasuki pasar entah apa namanya, lalu berbelok ke kiri lagi melintasi jalan satu jalur kearah sebuah bundaran dan berbelok ke kanan lagi melintasi jalan satu arah sampai bus itu melewati jalan S.K.A. Sewaktu melintasi jalan S.K.A ini sang sopir bertanya kepada penulis “Simpang Giant nya dimana, Pak?” Orang yang ditanya sama tidak tahunya dengan orang yang ditanya. Lalu dari arah bangku baris pertama  memberi penguatan kepada penulis dan istri dengan yang mereka ketahui kepada sopir.
               Parahnya lagi, dari Hp yang digunakan nomor si Adiak yang dihubungi menjawab “Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif atau diluar jangkauan, silahkan hubungi beberapa menit lagi.” Setelah sekian kali mencoba masih dengan jawaban yang sama akhirnya penulis memberanikan diri meminta kepada sang sopir untuk menghentikan busnya sebentar setelah bus berada di depan rumah sakit jiwa dan setelah kami turun, kami pun disusul oleh si Adiak dengan motornya. Setelah berbincang seperlunya kami pesankan kepada si Adiak untuk menelpon kembali setelah sampai di tempat kos.
               Benar saja setelah kami berdua kembali ke bus dan ketika menuju tempat duduk kami di bagian belakang bus, kami diolok-olok anggota rombongan yang mengingatkan “Jangan menangis, ya!”, “Jangan menangis, ya!”, “Jangan menangis, ya!”. Sempat juga muncul rasa ingin menangis itu namun kemudian bisa  penulis sikapi dengan melupakannya, namun tidak dengan sang istri yang setelah sampai di tempat duduknya sepertinya tidak ingin diganggu. Dalam kebisuan antara kami berdua, tiba-tiba si Adiak menelpon penulis dan memberitahu bahwa dia sudah sampai di kost nya. Oleh istri penulis dijelaskan duduk perkara kenapa pertemuan ini menjadi sebentar itu saja yang penulis yakini bisa dipahami dengan baik oleh si Adiak dan kami pun mengakhiri pembicaraan.
               Satu hal yang penulis kagumi dari pribadi sopir 1 bus yang kami tumpangi ini adalah kesabarannya menyanggupi melayani semua kebutuhan anggota rombongan agar senang dengan pelayanannya bahkan ketika ada anggota rombongan berkeinginan membeli nenas yang dijajakan di pinggir jalan, malahan dia yang mengingatkan “Bagi yang ingin membeli nenas, silahkan pilih sendiri .”  Ibarat rambai dihampeah-an, anggota rombongan berebutan keluar dari bus untuk membeli nenas itu.
               Setelah semua anggota rombongan selesai dengan acara membeli nenasnya, bus kami kembali bergerak menuju kota Bangkinang, Simpang Pasir Pangarayan, Simpang Piladang, Sungai Tarab, Simpang Asrama Polisi, Simpang Pincuran Tujuah.
Di simpang Pincuran Tujuah ini bus kami sempat terhenti sesaat karena dari arah Lima Kaum ada antrian panjang mobil dan motor menunggu lepas dari halangan badan besar dan panjang bus yang kami tumpangi, dan didekat bus yang kami tumpangi ini juga telah tidak bisa bergerak maju atau mundur sebuah sedan Volvo putih pada jarak sepuluh atau lima sentimeter dekat bagian belakang bus yang kami tumpangi, namun dengan kelihaian tersendiri antara sopir bus yang kami tumpangi dengan sopir sedan Volvo putih tadi, kedua buah mobil itu bisa melepaskan diri  dengan tidak meninggalkan goresan sedikitpun satu sama lainnya.
Sewaktu bus berjalan di depan pom bensin Pincuran Tujuh, penulis mengumumkan kepada anggota rombongan “Anda memasuki detik-detik terakhir perjalanan anda” dan penulispun mengajak anggota rombongan untuk menghitung mundur “10, 9, 8, 7, 6, 5, 4, 3, 2, 1, dan 0” bus berhenti di depan gerbang atas SMPN 3 Batusangkar tepatnya jam 19. 28 W.I.B.
               Setelah turun dari bus, anggota rombongan bergegas mengambil barang bawaan dan belanjaan masing-masing. Penulis dan istri pun melakukan hal yang sama. Dikarenakan barang bawaan yang tidak bisa dibawa dengan satu sepeda motor karena banyaknya, akhirnya kami terpaksa menyewa sebuah ojeg , kami pun sampai di rumah jam 19.59 W.I.B.
               Demikianlah kisah perjalanan ini ditulis semoga ada mamfaatnya bagi pembaca dan penulis sendiri. Dikarenakan tulisan ini jauh dari kesempurnaan, silahkan kirim ulasan anda melalui muhammadfuad67@yahoo.com.
               Terima kasih, dan tolong jawab salam dari saya
               Assalamu’alaikum. w. w.
               Sempatkan juga membaca:
             -. Teka-teki tentang kendaraan
-. Tips Aman Mengadakan Perjalanan Dengan Angkutan Umum


                
              




Teka-teki tentang kendaraan

1.        Ajo               : A nyo dari rokok tu nan katuju dek Apak?
Apak E         : Indak tau
Ajo               : Indak tau, tapi Apak isok juo tiok hari, dek ambo ado nan katuju dari rokok tu
Apak E         : A lo tu?
Ajo               : Panjangnyo, kalau lah pendek ambo buang.

2.      Uniang        : Ajo, lah lamo Ajo pai jo oto?
Ajo               : Alah
Uniang        : Takah ka Medan ko, tantu alah acok Ajo ka Medan ko, yo!
Ajo               : Iyo
Uniang        : Bara buah keloknyo dari Padang ka Medan ko, Jo?
Ajo               : Tigo (asal jawab karena tidak tahu)
Uniang        : Duo nah Jo, ka suok jo ka kida, jumlahnyo Ajo ituang, mabuak nah awak
                      dibueknyo Jo.

3.    Pak Ar          : Jo, wakatu oto babelok ko, ban nan ma nan indak baputa, Jo?
Ajo               : indak tau ambo do
Pak Ar          : Ban serap nah Jo, babelok atau indak inyo takah itu juo posisi nyo!

4.    Ajo               : Urang naiak honda, a bahaso Arab nyo, dek Apak?
Pak E           : Ba duo di ateh ban

5.    Pak Eri         : Jo, nan bagak sopir antaro stokar nyo, Ajo?
Ajo               : Indak tau ambo do Pak.
Pak Eri         : Bagak lah stokar, Jo.
                       Mundur kecek stokar, dimundurkan oto dek sopir, mah
                   Maju kecek stokar, dimajuan oto dek sopir, mah



  

  
              


TIPS AMAN MENGADAKAN PERJALANAN DENGAN ANGKUTAN UMUM

Bagi sebahagian pembaca yang sudah sangat sering mengadakan perjalanan, tentunya tidak akan begitu repot dengan urusan budget, pakaian, makanan dan obat-obatan yang perlu dibawa dalam perjalanan. Lebih tepatnya lagi tulisan ini dialamatkan kepada pembaca yang akan mengadakan perjalanan dengan menggunakan bus umum.
Sebenarnya sebatas perjalanan di dalam satu negara dengan bus umum pembaca hanya perlu membawa KTP, budget, pakaian, makanan dan obat-obatan, serta mungkin beberapa dokumen penting lainnya.
Masalah budget (patokan biaya 1 x makan/orang adalah Rp.50.000; berarti untuk satu hari biaya makan / orang hanya Rp. 150.000). Silahkan sekarang pembaca kalikan berapa hari perjalanan itu akan dilaksanakan.
Masalah nasi yang akan dimakan bisa disiasati dengan membungkusnya dari rumah dengan menggunakan daun pisang. Pembaca ambil beberapa tangkai daun pisang dari batangnya lalu disangrai sehingga daun itu berubah warna menjadi hijau kehitaman dan lebih lentur. Masukkan nasi yang masih hangat kedalamnya. Nasi yang dibungkus dengan daun pisang masih layak dikonsumsi sampai dua hari. Pembaca bisa menyimpan uang untuk keperluan lain berkat membungkus nasi dengan daun pisang.
Masih sekitar masalah makanan, ada bagusnya pembaca membawa serta sebungkus kue kering dan sebotol minuman air putih  ke tempat duduk pembaca yang bisa diambil kapan saja dibutuhkan.
Bagi pembaca yang akan menginap beberapa hari di suatu tempat dalam perjalanan dengan bus umum, ada bagusnya juga membawa serta mok listrik untuk memasak air untuk keperluan membuat kopi atau teh hangat di pagi hari di tempat penginapan yang semoga saja ada tersedia arus listriknya.
Masalah pakaian, ada kecendrungan bagi peserta perjalanan membawa pakaian sebanyak mungkin padahal yang terpakai perhari itu hanya 1 lembar baju, 1 lembar celana panjang dan 1 stel pakaian dalam. Artinya lagi adalah untuk 5 hari perjalanan pp, pembaca hanya membutuhkan 5 lembar baju, 5 lembar celana panjang dan 5 stel pakaian dalam, sedangkan yang lainnya akan menjadi beban perjalanan saja.
Satu hal tentang baju dingin. Siapapun kita tidak bisa memastikan perjalanan dan tempat tujuan yang akan dituju udaranya bagaimana. Mungkin akan dingin atau sebaliknya. Dengan keberadaan baju dingin didekat tempat duduk kita selama dalam perjalanan, saat udara dalam perjalanan dingin, baju dingin tadi bisa cepat dikenakan dan bila udara panas, baju dingin tadi bisa segera dilepaskan.  
Masalah obat-obatan, dalam perjalanan dengan bus umum penyakit yang paling sering menyerang adalah sakit kepala,  diare / mencret, sakit perut, pegal-pegal dan sulit tidur.
Silahkan kenali kembali obat apa yang biasanya anda gunakan untuk mengatasi penyakit-penyakit di atas.
               Demikian tulisan ini dibuat semoga ada mamfaatnya.

               Wassalam.